Gerimis Pertama

6 1 0
                                    

19 September, Gerimis Pertama.

Langkah kakimu begitu elok menerabas hujan. Meski sedemikian lebatnya, juga kesiur anginnya yang begitu tak bersahabat sore ini. Ujung jilbabmu berkibar, tangan kananmu menahannya agar tak terbuka, sementara tangan kirimu menjinjing kotak buku kedap air. Entahlah apa yang membuatmu nekat berbasah-basahan sore ini, aku hanya heran, tidak terlalu kuatir, toh tubuhmu terlindungi mantel hujan merah marun, meski tidak dengan kepalamu—jilbab merahmu basah. Ah, aku menjadi teringat akan perkataan orang-orang di kampungku, jika tetesan hujan mengenai ubun-ubunmu, kau akan jatuh sakit, entah demam, entah flu. Semoga saja tidak denganmu. Kuawasi terus punggungmu, hingga kau hilang dibelokan pertama.

Hei, sudah maghrib rupanya, adzan sudah mulai berkumandang. Aku harus beranjak ke masjid kampus—satu-satunya yang paling dekat dengan tempatku berdiri. Seratus meter jauhnya, dan hujan masih saja turun, meski sekarang hanya gerimis. Yeah, hanya gerimis. Tapi jutaan kubik air itu tetap akan membasahi bajuku setiba di sana, dan aku tak ingin shalat dengan keadaan basah, tidak mengkhusyukkan.

Otakku berputar cepat. Sepertinya aku harus memutari gedung E ini untuk bisa sampai di sana. Satu-satunya cara paling aman dari tetes air, meski agak jauh. Sayup-sayup iqamah dikumandangkan, kupercepat langkah kakiku, jangan sampai aku menjadi makmum mashbuk.

Usai shalat maghrib berjamaah, hujan sudah reda. Menyisakan tetesan-tetesan kecil di daun pepohonan. Aku melipat sarung pinjaman masjid dan hendak meletakkannya di lemari ketika samar-samar melihat seorang gadis meneriaki beberapa anak yang berlarian untuk duduk ditempatnya semula. Memang tidak asing, setiap hari Rabu dan Jumat selalu ada TPA di masjid kampus. Pengajarnya pun para mahasiswa yang longgar waktnya dan secara sukarela. Tapi yang membuatku urung beranjak adalah, gadis itu adalah gadis yang tadi kuamati saat hujan.

Gadis bermantel merah marun.

Aku mendekat ke selasar masjid. Dari jarak dua meter, wajah itu terlihat jelas. Mata belo dengan bulu mata lentik dan alis tebal. Kuberanikan diri untuk menyapanya,

"Hei, permisi," suaraku terdengar sedikit grogi.

Gadis itu menoleh, sedikit memiringkan kepalanya. Bertanya ada apa.

"Eh, aku tadi melihatmu di depan gedung E. Kau mahasiswi disini?"

"Ya, psikologi," jawabnya datar.

Oh psikologi, gedung F. Ucapku dalam hati.

"Mengajar TPA ya?" sungguh pertanyaan bodoh. Tentusaja iya.

Gadis itu mengangguk.

"Aku Amir, anak manajemen," kuperkenalkan diriku.

"Amira," jawabnya lagi tanpa menoleh, matanya sibuk mengawasi iqra anak didiknya yang sedang menyetor bacaan.

Sungguh aku ingin terlonjak kebelakang saat mendengar namanya mirip dengan namaku.

Bingung hendak mengobrol apa lagi, aku akhirnya berpamitan pulang. Lagipula tak enak mengganggu konsentrasinya mengajar TPA. Yeah, barangkali esok lusa aku bisa bertemu dengannya lagi di kampus—secara tidak sengaja.

Gerimis telah reda, meninggalkan tetesan pada ujung daun, juga dingin yang berembus. Aku hampir lupa, ada satu makalah yang menunggu tuk kuselesaikan malam ini.

BersenyawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang