Aku terkelu. Sedangkan lelaki itu memandangiku dengan wajah membeku. Tak kulihat ada rasa bersalah yang terpancar dari kedua bola matanya. Kemungkinan terbesar, ia sangat ingin lenyap dari hadapanku sesegera mungkin.
Aku dan dirinya masih sama-sama terdiam. Satu-satunya suara yang mengusir jeda sunyi di antara kami, hanyalah suara isak tangisku yang tertahan. Oh! juga bunyi serosot dari hidungku, sih.
"Saya pamit, ya," ucapnya setelah berhasil membuka pintu pagar rumahku.
Mendengar ia berpamitan, sepasang mataku memilih berpendar ke sembarang arah. Rasanya tak sanggup bagiku membagi duka setelah pengharapanku dimusnahkannya begitu saja.
Aku mengangguk pasrah. Arah kepalaku masih merunduk ke tanah. Mencoba mencari perlindungan atas penglihatanku yang membasah. Sedangkan mulutku masih terus bungkam.
Biarlah aku telan sakit ini sendirian. Ia tak perlu tahu kekecewaan yang tengah kupendam.
"Saya mau ngomong sesuatu sebelum pergi." Kembali ia membuka suara, memaksaku harus mau beradu pandang dengannya.
"Kamu tahu kalau kesempatan hanya datang tiga kali?" tanya lelaki itu dengan ritme suara yang lancar. Tak ada gentar di sana. Seolah ia yakin dengan kalimat yang akan meluncur dari bibirnya.
Aku menggangguk lemah dengan pandangan yang mengabur akibat genangan air yang mengumpul di pelupuk mata.
"Karena kita sudah mencoba hubungan ini sebanyak tiga kali, saya rasa setelah ini tidak ada lagi kesempatan untuk kita berdua.
Mungkin ini adalah kedatangan saya yang terakhir kalinya. Jadi, jangan berharap tentang kita lagi setelah ini. Saya pulang, ya."
Jahat! batinku berteriak bersama tangis yang mengalir deras.
Kalimat darinya begitu kejam dan menghujam harapanku yang sudah terhempas jauh karena dibuang olehnya.
Sebanyak tiga kali aku menerima cinta dan kembali ke dalam dekapan lelaki yang sama.
Sebanyak tiga kali pula hatiku dipatahkan oleh dirinya.
Aku tahu, ini memang terdengar sangat bodoh.
Bagaimana bisa seorang perempuan begitu rela diambil dan dibuang oleh seorang lelaki berulang kali?
Tetapi... aku memang tidak pernah mampu mengabaikan kehadirannya.
Ia adalah sosok yang selalu kupuja. Eksistensinya di hidupku mampu membuat seseorang sepertiku yang sering 'sok tahu' justru menjadi tidak berkutik ketika sedang berbincang dengannya.
Ia merupakan gabungan candu dan senduku.
Ia adalah cinta pertamaku sekaligus patah hati terhebatku.
Masih dengan pilu yang aku peluk erat, kulihat punggungnya semakin lama semakin menjauh dan menghilang di persimpangan jalan.
Di detik itu juga, aku mengingatkan diriku untuk benar-benar merelakannya.
Mengaminkan perkataan terkejamnya.
Menampar hatiku untuk segera melenyapkan sebentuk rasa untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gerimis, Malam Hari dan Lampu Jalan
Short StoryBerupa kumpulan sajak, cerita pendek dan puisi tentang kehidupan. Sumber inspirasi bisa dari mana saja. Selamat membaca.