Meski kupendam sedalam apapun
Pada akhirnya, namamu akan kembali muncul ke permukaan
Aku belum siap menerima kenyataan itu
-
Bip, bip, bip, bip. Titt.
Kudapati sepasang sepatu tergeletak rapi di hadapanku. Aku hanya menghela napas pelan. Lalu kuabaikan sepatu itu. Kulepas sepatu dan menempatkannya di rak sepatu yang sengaja kusediakan agar tidak memenuhi jalan masuk. Kemudian kulangkahkan kaki memasuki apartemen. Indera pengelihatanku menangkap bayang seorang laki-laki tengah duduk di ruang makan sembari meminum sekaleng soda. Kudekati bayang itu. Kemudian, kududukkan pantatku di kursi yang berada di hadapannya.
"Kapan sampai?" tanyaku sambil menaruh tasku di kursi yang berada di sampingku. Laki-laki itu masih terdiam. Dia masih sibuk dengan kaleng sodanya.
Aku beranjak menuju lemari pendingin. Mengeluarkan beberapa bahan makanan yang bisa kuolah untuk kujadikan santapan malam hari ini. Aku sedang tidak berniat memasak makanan yang berat. Aku sedang sangat lelah dan kebetulan bahan makanan di lemari pendingin sudah menipis.
"Kamu harus ganti sodaku. Itu kaleng terakhir tahu!" ucapku sedikit sinis. Aku selalu minum soda setiap aku banyak pikiran. Jadi aku selalu menyediakannya di lemari pendingin. Tetapi karena aku sangat sibuk akhir-akhir ini, aku belum sempat untuk membeli persediaan. Parahnya kaleng terakhirku malah diminum oleh tamu yang tak pernah diundang ini.
"Daripada membelikan soda, lebih baik aku membelikanmu sekardus jus kotak atau susu kotak." Aku mendengus sebal mendengar balasannya.
"Aku sampai di sini jam tujuh tadi. Aku sudah numpang tidur dan buang sisa isi perutku," akunya. Apa dia benar-benar harus mengatakannya di depanku? Huh! Untung dia saudaraku, kalau tidak sudah habis dia. Aku sangat benci ketika ada orang lain membahas soal sisa metabolisme tubuh di saat ada makanan di sekitarnya. Menurutku itu tidak etis.
Mm, dia memang saudaraku, saudara sepupu. Namanya adalah Adhi Laskar Respati. Seorang direktur utama di kantor ternama di Indonesia. Dia memimpin perusahaan cabang yang ada di Yogyakarta. Tetapi dia hanyalah seorang anak tunggal yang sangat manja di lingkungan keluarga besar, terutama padaku. Meski kami hanya saudara sepupu, tetapi hubungan kami sudah seperti adik kakak kandung. Dia bahkan sering datang ke Seoul untuk menemuiku atau ke Chicago menjenguk keluargaku.
Karena dia sering bertandang, akhirnya kuberikan kata sandi apartemenku padanya. Dia selalu mengambil jadwal penerbangan yang bertabrakan dengan jadwal kerjaku. Jadi aku tidak bisa membukakan pintu untuknya. Daripada dia tidur di depan pintu, akan lebih baik kalau dia masuk sendiri.
Dia itu tipe orang yang sangat pelit. Bahkan untuk dirinya sendiri. Dia lebih memilih untuk tinggal di apartemenku ketimbang menyewa hotel meski hanya untuk semalam. Dia mengatakan kalau uangnya harus dia tabung untuk kehidupan pernikahannya nanti. Jadi dia harus berhemat sebisa mungkin. Lagipula aku punya dua kamar di apartemen. Dia harus memanfaatkan itu. Jadi jangan heran kalau dia berlalu-lalang masuk ke dalam apartemenku, layaknya rumah dia sendiri.
"Kamarmu belum aku bersihkan sejak seminggu yang lalu," ucapku sambil memindahkan masakanku ke atas piring yang sudah kusediakan. Kudengar dia sedang menyeruput sodanya lagi.
"Aku menginap sampai lusa." Aku membulatkan mataku tak percaya. Benarkah? Ini pertama kalinya dia tinggal lebih lama di Seoul. Tentu aku sangat senang. Aku bisa berbicara dengannya sesuka hatiku. Aku harus memanfaatkan waktu dengan baik.
"Setelah itu aku akan terbang ke Jepang sebelum ke Chicago. Ada tugas dadakan." Dia beranjak dari tempat duduknya untuk membuang kaleng sodanya. Sedangkan aku menaruh piring berisi masakanku di atas meja makan.
"Besok aku ikut ke rumah sakit ya. Sewaktu kamu tidak ada pasien, aku bisa berbincang sebentar denganmu." Dia yang sudah membawa mangkuk berisi nasi langsung menyendokkan masakanku ke dalam mangkuknya.
"Aku ambil cuti."
"Kenapa?" Dia menghentikan gerakannya dan mengamatiku dalam. Wajar kalau dia bersikap seperti itu. Aku bukanlah tipe orang yang biasa mengambil cuti. Bahkan tahun lalu aku tidak mengambil cutiku dan malah sibuk lembur di rumah sakit. Bukan karena aku gila kerja, tetapi karena aku senang. Aku menikmati bekerja sepanjang tahun. Selain itu, karena bekerja sebagai pengalihan perhatianku agar tidak memikirkan hal-hal lain yang tidak ingin kupikirkan.
"Aku merasa butuh istirahat untuk sementara waktu." Aku merasa badanku harus diistirahatkan. Aku hampir terjatuh di rumah sakit tadi pagi. Pak Kepala yang melihat kejadian itu langsung memintaku untuk beristirahat dan tidak bekerja untuk beberapa hari. Aku hanya bisa mengiyakannya karena Pak Kepala adalah orang yang tidak suka dibantah perkataannya, bahkan sedikit saja.
"Ya sudah, besok kita bicara." Dia sudah melanjutkan aktivitasnya lagi.
"Tentang apa?"
"Airlangga." Satu nama yang sudah kubuang dan kuhapus sejak lama tetapi selalu muncul di saat-saat yang tak terduga seperti sekarang ini. Mengapa aku harus membicarakannya ketika aku sudah benar-benar kehilangan perasaanku padanya. Bukankah itu sangat tidak berguna?
"Besok ikut aku belanja persediaan makananmu dulu sebelum kita bicara serius."
"Tidur sana. Kamu pasti capek." Dia membereskan piring-piring dan mencucinya di wastafel kemudian menatanya di rak. Aku masih bergeming di balik meja makan. Napasku sedikit terburu karena nama itu muncul lagi ke permukaan.
Akhirnya aku menyerah. Laskar sudah masuk ke dalam kamar setelah mematikan lampu di ruang santai beberapa menit yang lalu. Aku berjalan gontai menuju kamarku. Mendudukkan pantatku di belakang meja kerja. Membuka laci meja sebelah kiri. Kuraih buku tebal berwarna merah yang memiliki motif kotak-kotak. Membukanya pelan.
Apa aku harus melakukannya?
YOU ARE READING
too LATE
Teen Fiction[ End(ed). SIDE STORY ] Terima kasih untuk selama ini, Airlangga.