1. Gitar dan Praktek Seni Musik

47 4 1
                                    

Tiga tahun yang lalu.

Pagi yang sangat buruk. Aku merutuki kebodohanku yang menolak ajakan kak Jo untuk berangkat bersama tadi, hanya karena aku sedang kesal dengannya. Alhasil kini diriku duduk sendiri di halte, menunggu bus kota yang entah kapan tiba.

Aku semakin gelisah ketika sadar bahwa arlojiku sudah menunjuk pukul 07.00, tinggal tersisa tiga puluh menit lagi sebelum bel tanda masuk berbunyi.

Aku menunduk sembari melafalkan doa, agar bus kota segera tiba.

Ku lihat seorang laki-laki yang baru saja tiba di halte. Seragam yang ia kenakan persis sepertiku, yang berarti dia adalah anak SMA Bima Sakti juga. Laki-laki itu meletakkan tas gitarnya yang dijinjing di sebelah tas gitar ku, lalu duduk tak jauh dariku.

Sebuah bus akhirnya menghampiri halte yang aku tempati. Aku segera mengambil tas gitarku lalu naik ke bus, begitu pula dengan laki-laki itu. Aku bernafas lega. Setidaknya hari ini aku tak mendapatkan masalah karena terlambat. Tapi, setengah jam kemudian, masalah lain justru datang menghampiriku.

***

Tepat lima menit sebelum bel masuk berbunyi, aku tiba di kelas. Nafasku tersengal, tanganku memegang lututku yang terasa lemas. Dengan langkah gontai, aku berjalan menuju tempat dudukku.

"Agatha! Lo kenapa?" tanya Meymey, sahabatku.

"Lo tau gak, Mey, rasanya lari-lari dari lantai satu ke lantai tiga? Nah, itu yang gue rasain." Ucapku pada Meymey yang langsung dibalas kekehan kecil.

"Iya, Tha." ujar Meymey lalu terkekeh.

Aku membenamkan wajahku di atas meja. Mencoba menormalkan detak jantungku.

"Hm, Tha Lo bawa gitar siapa? Tumben gue liatnya." Ucap Meymey yang langsung membuatku refleks mendongak. Tumben katanya?

"Itu gitar gue yang biasa..... Lah? Ini bukan gitar gue?!" ujarku kaget saat mendapati bahwa gitar yang ku bawa bukan milikku. Aku menatap lamat-lamat gitar tersebut. Ku coba mengingat-ingat lagi.

"ASTAGA! Ya ampun! Mey, gitar gue ketukar!" pekikku, yang membuat teman sekelasku menoleh padaku. Aku hanya mengacungkan peace.

"Ketukar gimana maksud lo?" tanya Meymey.

"Dihalte! Gue yakin... gitar gue pasti ketuker sama cowok itu." Ujarku penuh keyakinan.

"Siapa?" Tanya Mey lagi.

"Gue gak tau namanya siapa. Tapi yang jelas dia anak sekolah sini." Ujarku.

Samar-samar terdengar suara ketukan sepatu dari luar kelas, mendekat menuju ruang kelas ku, XI IPS 1. Dari balik daun pintu, Bu Tantri masuk ke kelas.

"Selamat pagi, anak-anak!" Sapanya yang disahut serempak oleh semua murid.

"Oke. Seperti janji saya kemarin, hari ini kita akan melaksanakan Praktek Musik sebagai nilai harian kalian. Silahkan persiapkan diri. Saya akan panggil satu-satu secara acak." Ujar Bu Tantri.

"Mampus! Gimana ini, Mey?" Tanyaku. Ku yakini wajahku sudah pucat pasi sekarang.

"Saran gue mending lo pake gitar ini aja dulu. Daripada nilai lo jelek." Ujar Mey. Aku hanya pasrah. Semoga saja Tuhan berbaik hati padaku.

***

Namaku dipanggil paling terakhir oleh Bu Tantri. Dengan pasrah aku maju ke depan kelas. Aku menghela napas, mencoba menenangkan detak jantungku.

Perlahan ku petik senar gitarku. Detak jantungku mulai membaik. Alunan gitarku mulai memenuhi ruangan kelas.

If someday your feet can't touch the ground

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 07, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Senja Di Ujung SeptemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang