Yang Tak Kan Kembali Lagi

11 1 0
                                    

Dan akhirnya Inem sendiri yang kecewa karena tak dengarkan wejangan orangtuanya. Dan kini, Inem tak temukan jalan untuk kembali. Kembali di masa saat ia dinasehati orangtuanya sendiri, dan seharusnya ia menurut saja untuk tak menjadi istri Sarjoni. Dan kini juga, kedua-dua orangtuanya telah meninggal dunia, buat selama-lamanya. Hingga hasrat untuk memohon ampun maaf kepada keduanya tak akan pernah terlaksana, buat selama-lamanya juga. Kisah ini akan ku mulai dari awal perjumpaan Inem dengan Sarjoni. Pemuda anak seorang kaya itu.

Kala itu, seperti hari-hari yang lain, Inem mengangkat baki yang berisi baju-baju kotor keluarganya. Ia bawa baki itu, dan dirinya sendiri ke kali. Ia cuci baju bapak dan ibunya. Baju orangtuanya sendiri. Juga baju Inem sendiri. Ia gilaskan tumpukan baju itu pada batu untuk menandaskan segala kotoran yang melekat padanya. Dengan kakinya yang putih dan tak bercela sedikitpun, ia injak-injak juga baju-baju itu.

Pada waktu yang sama, Sarjoni yang habis dari kota berangkat pulang kembali ke rumahnya. Ia kayuh sedapat-dapatnya sepeda ontanya itu. Tapi semakin lama semakin berat juga. Tidak seperti biasa-biasanya, sepeda onta itu seperti dibonceng tiga orang sekaligus. Dan tanah yang dilindas rodanya seakan enggan bersahabat dengan dirinya. Membuat hukum keseimbangan seperti tidak ada artinya.

Sarjoni turun dari sepedanya, dan melihat kenyataan pada roda depan sepeda ontanya yang ternyata tak berangin lagi. Angin-angin itu minggat dari rodanya melalui lubang kecil yang ada padanya. Bersatu dengan angin alam yang bebas lepas. Terpaksa, Sarjoni yang jarang merasakan susahnya hidup itu mau tak mau harus berdamai juga padanya. Ia turun dan harus menitih sepedanya sendiri. Sepeda yang biasanya menjadi sahabat baiknya, untuk kali ini berubah menjadi musuhnya. Sepeda yang biasanya memudahkan hidupnya, kali ini berubah menjadi yang menyusahkannya.

Di antara jengah hatinya karena debu dan panas turut mengganggunya juga, Sarjoni terpaksa harus beristirahat sejenak. Melihat ada kali yang biasanya tak pernah ia perhatikan sama sekali, Sarjoni menyandarkan sepedanya yang sudah tak ada manfaatnya lagi itu. Lalu menuju ke kali buat membasuh muka dan mendinginkan badan dan hatinya.

Ia ambil air dengan tangannya, lalu ia basuhkan ke mukanya. Ia basahi juga rambutnya yang mulai dilumuti debu itu. Sambil menghela nafas panjang, pandangan Sarjoni menyapu melawan arus air. Sampai juga pandangan matanya itu pada kaki mulus milik Inem. Kaki yang semakin terlihat atasnya karena Inem menjinjing jariknya untuk menginjak baju cuciannya.

Seperti lelaki pada umumnya, gambar kaki yang ditangkap oleh matanya itu meningkatkan hasrat mudanya juga. Sarjoni menelan ludahnya sendiri, yang sebenarnya sudah mulai kering karena kehausan. Dan hasratnya pula yang membuat Sarjoni berjalan sendiri dekati Inem.

Dan Inem sudah sejak tadi menyadari Sarjoni. Sarjoni yang menjadi harapan banyak perawan buat jadi lakinya itu. Melihat Sarjoni mendekatinya, Inem jadi salah tingkah. Dicucinya lagi baju yang sudah selesai bersih. Diperasnya lagi baju yang sudah kering. Sarjoni semakin mendekat juga. Dan kata pertama yang Sarjoni ucakpan buat Inem terucap juga.

“Sendiri saja, dek ayu? Tak takutkah kau bila ada buaya?”

Inem hanya diam saja, dan buaya yang sebenarnya adalah Sarjoni sendiri.

Percakapan yang teramat biasa terjadi di antara kedua-duanya. Lelaki yang berusaha untuk menjinakkan perempuan dengan kata-kata manis. Dan perempuan yang pura-pura menutup diri. Hasrat muda Sarjoni semakin menjadi-jadi juga mendengar suara Inem yang hanya sedikit itu. Parasnya yang cantik, bentuk tubuhnya yang padat dan berisi, bibirnya yang kemerahan, hampir-hampir meledakkan dada Sarjoni dan membuat ia tak bisa mengendalikan diri sendiri. Dan pada akhirnya, Inem beritahu juga alamat rumahnya. Sarjoni pergi, dengan tak lupa membawa sepedanya yang tak ada gunanya.

Seminggu berlalu seperti biasa bagi Inem, dua minggu juga tak ada perubahan pada pola kehidupan Inem. Tak ada kegiatan selain mengurus rumahtangga keluarganya. Hingga pada suatu sore, Sarjoni datang juga. Sarjoni yang selama ini dinanti-nanti Inem dengan diam saja. Sarjoni didudukkan di teras rumahnya. Dengan segelas teh hangat sajian Inem sebagai batas waktu berkunjungnya, dihematlah Sarjoni meminumnya. Agar lebih lama ia bercakap-cakap dengan Inem. Dan semakin banyak pula kata-kata omong kosong yang tak berguna keluar dari mulut Sarjoni. Hati Inem semakin luluh pula. Mulut Sarjoni memang lihai menghasilkan kata mendayu-dayu untuk menjinakkan seorang wanita. Namun Inem berbeda, Inem adalah perempuan yang paling cantik di mata Sarjoni. Rambut Inem yang panjang berombak-ombak pada bahunya membuat hasrat muda Sarjoni bergejolak lagi. Dan hasrat muda itu tak diketahui kedua orangtua Inem yang sebentar saja menyalami Sarjoni hanya untuk kepentingan adat bagi tamu yang berkunjung.

Teh manis tandas juga. Sesuai adat bertamu, Sarjoni harus berpamit pulang. Disaliminya lagi kedua tangan orangtua Inem. Dan itu juga untuk keperluan adat saja. Yang harus dilakukan oleh semua orang yang mengaku dirinya pribumi asli. Pulanglah Sarjoni dengan sepedanya yang sudah baik lagi kondisinya.

Hilang sudah Sarjoni dari pandangan mata kedua orangtua Inem. Dipanggilah Inem yang habis memasukkan gelas sisa Sarjoni ke dapur. Tahu saja Bapak Inem tentang Sarjoni. Sarjoni memang benar anak seorang kaya. Ia terkenal karena itu. Dan ia terkenal juga sebagai pemuda yang malas. Ia hanya memakan harta orangtuanya sendiri. Pekerjaan tak juga dipunyai Sarjoni. Tanpa banyak-banyak bertanya tentang siapa tamunya, Bapak Inem langsung saja mencela kehadiran Sarjoni. Dilarangnya Inem untuk berjumpa dengan Sarjoni lagi. Sekejap hati Inem berontak. Ia tak terima. Sarjoni yang baru dijumpai dua kali sudah menghilangkan kepatuhan Inem pada orangtuanya. Inem ke kamar, dan mengunci pintu dari dalam.

Besoknya, tak seperti biasa, matahari sudah hampir tepat di atas kepala orang-orang, dan Inem belum keluar dari kamarnya. Diketuklah kamar itu oleh Ibu. Tak ada jawaban juga. Dan pintu kayu itu coba dibuka, tak terkunci. Inem tak ada di kamarnya. Baki baju-baju kotor juga masih pada tempatnya. Ibu menuju kali, tak ada juga anak perawannya. Inem minggat dari rumah!

Empat Bulan Inem tak kunjung pulang. Empat Bulan juga Ibu jatuh sakit karena terlalu berat memikirkan Inem. Inem yang selama ini patuh dan lugu sikap budinya, tak pernah disangka sanggup melakukan hal senekat itu. Dan usaha Bapak mencari-cari anaknya sia-sia saja. Ibu semakin kurus. Kedua suami istri itu nelangsa hatinya kehilangan anaknya sendiri. Anak semata wayangya.

Sehabis Isya, rumah yang dilanda kesedihan dan kesuraman itu diketuk pintunya. Tak lain adalah Inem yang mengetuknya. Dibukanya pintu itu oleh Bapak. Dan dilihatnya anak perawan semata wayangnya pulang ke rumah. Rumah yang telah dihuninya sejak dalam kandungan. Sarjoni ada dibelakang Inem dengan muka kecut. Tak dihiraukannya Sarjoni. Bapak memanggil-manggil ibu dengan suara parau menahan tangis. Ibu tak mampu bangkit juga dari temapt tidurnya. Dipeluknya Bapak oleh Inem.

“Inem sudah pulang Pak, pulang ke rumah sendiri”, kata Inem berat-berat.

“Ke mana saja kau selama ini, cah ayu?”

“Aku pergi Pak, dengan Sarjoni turut juga”

Bapak tak menghiraukan Sarjoni. Inem memburu ke kamar untuk menjumpai Ibunya. Betapa terkejutnya Inem melihat Ibunya terbaring dengan kulit membungkus tulang. Kurus kering dan tiada daya hidup. Belum dikatakannya pula Inem pulang dengan Sarjoni. Dan juga dengan anak yang sudah ada dalam kandungannya sendiri. Kandungan Inem Sendiri.

Hari berganti, dan terus berganti. Inem resmi menjadi bini Sarjoni. Juga ini harus dilakukan untuk kepentingan adat. Bahwa menikah harus dilakukan bagi laki-perempuan yang sudah diketahui punya anak dalam kandungan. Beberapa hari setelah Inem-Sarjoni menikah, Ibu meninggal. Bapak juga turut menjadi sakit. Dan Sarjoni bukan menjadi pemuda anak seorang kaya lagi. Kedua orangtuanya sudah tidak mengakui Sarjoni sebagai anaknya. Sarjoni sudah dianggap jadi durhaka oleh orangtuanya, karena membawa minggat anak perawan orang. Dan adat yang mengharuskan Sarjoni menjadi anak durhaka karena perbuatannya itu.

Tiga hari seletah anak yang dikandung Inem lahir ke dunia yang tak pernah menyambutnya, Bapak meninggal juga. Menyusul Ibu buat bersama untuk selama-lamanya. Sarjoni sudah menjadi lelaki yang tak berguna. Pekerjaan tak punya, uang juga tak punya. Keahliannya merayu wanita lewat kata-katanya juga sama sekali tak ada gunanya, tak mampu membuat kendi berisi beras. Inem tak ada waktu untuk cari uang buat keperluan dapurnya, karena anak nya yang belum bisa berbuat sesuatu untuk dirinya sendiri tak bisa sebentarpun ditinggalkan Inem. Sarjoni minggat juga, menjadi orang gila yang selalu keliling kampung. Dan suatu hari, Inem ditemukan tak bernyawa dengan lehernya yang digantungkan pada sebuah tali. Ditemukan oleh tetangganya setelah berhari-hari tubuh Inem tak ditinggali nyawanya. Anaknya yang berhari-hari juga tak diberi susu dari dada Inem, turut mati pula buat tak pernah hidup lagi di dunia.

Yang Tak Kan Kembali LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang