79 24 11
                                    

Malam ini adalah satu dari sekian nirwana di bulan April.

Hanya tinggal menghitung hari untuk kedatangan akhir bulan. Waktu sudah berjalan jauh, jauh di depanku. Namun sepertinya, tidak denganku.

Seolah dunia ilusi, seperti cerita fiksi, aku terus berpijak di tempat yang sama kendati kakiku sudah lelah berlari.

Sudut kota ini seperti menjadi ajang untuk mengubek memori; sejenak melompat ke masa lalu. Dan akhirnya aku menemukan berkas itu dalam sistem otakku. Masih terlihat seperti baru. Tidak rusak, tidak kusam, apalagi berdebu.

Hari dimana aku duduk di halte bis dan kau berdiri di seberang jalan; hendak menyebrang ke seberang lainnya. Kupantau kembali arlojiku, lalu aku mendengus, menghela napas, merutuk, dan semua yang membuat seolah aku adalah manusia pengeluh. Jadi sesaat sesudah beranjak, kuputuskan untuk naik taksi. Untuk mencapai taksi, aku harus menyebrang ke sisi jalanmu.

Pundak kita sempat bertegur sapa, langkah kita sempat bersisihan, pun pandangan kita sempat saling menatap. Tentu saja, sebagai dua orang asing.

Aku belun mengetahui apa konsekuensi dari pertemuanku dan dirimu di tengah zebra cross itu. Aku belum tahu bahwa pertemuan itu hanya akan menjorokkanku kedalam kubangan rasa sakit yang terus menarikku ke dasar; sementara aku berteriak, meraung-raung untuk mencoba mendapat pertolongan. Aku tidak tahu, bahwa detonasi dari semestaku adalah nama yang selalu kusisipkan dalam doaku.

Seolah sebuah pertanyaan yang tak kunjung kudapatkan tanda tanyanya, sebuah kalimat yang entah kemana titiknya, atau perintah yang kehilangan tanda serunya, hidupku rasanya tak lengkap jika kau tidak berjalan disisiku dan menggandeng tanganku saat itu. Air, udara, dan kau, menjadi kebutuhan paling penting, yang jika salah satunya hilang, maka aku pun ikut menghilang (dari dunia ini).

Kau tahu? Peranmu sebetulnya sangat bagus. Kau mendekat hanya untuk menghancurkan. Kau memikat hanya untuk mengecewakan. Frase manis itu memang untukku, tapi aku tidak tahu menahu soal pemilik hatimu. Yang pasti, setelah sekian lama mencari jawaban, orang itu bukanlah aku.

Kau mengajakku terbang tanpa tahu cara mendarat. Kau mengajakku berlari tanpa tahu cara berhenti. Kau mengajakku merindu tanpa tahu kapan harus mengakhiri. Aku lelah kalau harus terus begitu. Sekali-kali, cobalah menjadi aku.

Harapanku kau buang laiknya sampah. Afeksiku kau jual ke tukang rombeng. Dan semua memori yang menyabet namaku di dalamnya kau letakkan di pasar loak. Sungguh lucu menyadari bahwa bayanganmu saja belum menghilang dari otakku; dirimu belum pergi dari hatiku. Apa aku yang terlalu bodoh atau kau yang terlalu pintar membodohi?

Segelas kopi, air mancur, dan taman bermain pernah menjadi saksi bisu. Bahwa kedua asing ini pernah menjadi 'kita'. Aku merasa tidak enak harus mengecewakan senja yang pernah tersenyum waktu itu. Namum barangkali lebih baik begini; daripada senja harus menertawai tanpa kuketahui.

Sebenarnya, apa arti namaku bagimu? Apa guna presensiku di dekatmu? Apa tujuanmu mengulurkan tangan dan membawaku ke dimensimu? Sungguh, aku tak pernah mengerti dengan jalan pikirmu yang rumit dan berkelok-kelok itu.

Namun, seiring waktu, aku mencoba menerpa badai; menembus kemarau; melawan salju. Itu tidak ada apa-apanya dibandingkan harus mengundurkan diri dari skenario hidup milikmu. Sejatinya, aku lebih baik berjalan diatas pisau daripada harus dihunus harapan palsu yang kau jejalkan setiap waktu. Luka fisik jauh lebih baik daripada luka batin. Sekalinya terkoyak, tidak akan bisa menutup lagi. Lantas, bagaimana kalau tidak sengaja terkorek? Tentu saja tambah parah.

Mungkin ini cara Tuhan menyadarkanku. Bahwa menggenggam bilur tak pasti sepertimu hanya akan membuat masa depanku tak menentu. Bahwa terus memeluk dirimu hanya akan merusak apa yang ada dalam diriku. Semuanya akan sia-sia saja jika Tuhan tak mengingatkanku. Bukankah, kita diberi kesempatan untuk bernapas di dunia untuk melakukan hal yang lebih bermanfaat dari itu?

Dan pada akhirnya, semuanya akan tahu. Bahwa kita adalah insan yang tak ditakdirkan menjadi satu. Semua yang pernah kita lakukan hanya menyisakan 'aku' dan 'kamu'. Bukan 'kita', ataupun 'kami'.

Sejujurnya, dalam lubuk hati yang terdalam, aku berharap kau mendapatkan kesialan. Tapi jika begitu, aku tidak ada bedanya darimu yang meninggalkanku tanpa kepastian. Kita berbeda. Dan harusnya perbedaan itu menjadikan tolak ukur kita untuk menjalani hidup. Namun sayang, tangga kita terlalu rapuh untuk dinaiki berdua. Dan terpaksa, kita meniti tangga yang berbeda; jalan yang berbeda; puncak yang berbeda. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Yang ada hanya perbedaan ruang yang kita pijaki saja.

Entah sudah keberapa kalinya sepatu hak yang membalut tungkaiku mengetuk trotoar. Entah sudah keberapa kalinya aku mendongak keatas dan memandang cakrawala tanpa bintang. Yang pasti, sampai di depan toko roti, nostalgia yang kuputar sudah usai. Aku berniat untuk menguburkannya lagi; lebih dalam daripada sebelumnya. Biarkan itu mengusam, biarkan itu berlumut, atau berkarat sekalipun aku tak peduli.

Malam ini, adalah malam kesekian di bulan April. Malam ini, adalah akhir dari rasa sakitku. Dan malam ini, adalah awal dari perjalananku yang baru; petualangan yang sedang menunggu.

Malam ini, aku sudah mengikhlaskan semuanya. []

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 31, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Night in AprilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang