II

68 11 0
                                    

Si rubah merah membungkukkan badannya sambil tersenyum puas mendengar suara gemericing koin tanda terima kasih pirsawannya. Saat kembali berdiri tegak, wajahnya kembali berubah sedingin angin malam. Dengan nafasnya yang teratur ia membuka separuh topengnya yang masih melekat di sebagian wajahnya. Tanpa sadar, matanya mengamati para pirsawannya yang masih menyoraki pertunjukannya. Seorang pria jangkung mencolok di antara penduduk desa, penikmat baru pertunjukannya, pikirnya.

Tanpa menganggap arti dibalik tatapan terpukaunya si pemuda jangkung itu, si rubah merah mengalihkan pandangannya dan menapakkan kembali kakinya menuju rumah. Meskipun ia tahu, dalam lubuk hatinya, tatapan itu akan membuatnya gelisah malam itu. Bukan tanpa alasan, kilas baliknya akan kenangan masa kecilnya yang pudar saat menatap pemuda jangkung itu membuat ketakutan tanpa alasannya kembali muncul.

Si penabuh gendang dan gadis kecil berjalan di sebelahnya. Bayangan mereka terbentuk sempurna berkat sinar rembulan yang terang malam itu. Mereka bertiga berpisah saat si rubah kecil memutuskan untuk mengunjungi samudera yang mengundangnya dari bisikan angin utara malam di malam itu.

Di bibir pantai, si rubah merah melepas gaun merahnya. Tubuh polosnya mendekat ke arah ombak yang dengan lembut menyisir bibir pantai. Detik di mana ombak menyentuh lembut jemari kakinya, ia melompat jauh ke dalam badan ombak. Dalam tubuh Semesta, ia memejamkan matanya. Merasakan setiap pukulan halus dari dorongan ombak yang berlawanan dengan arahnya.

Kepalanya menunduk, kakinya bersila, mempersilahkan hukum Semesta untuk membawa tubuhnya jauh ke dalamnya. Kaki kurusnya menyentuh pasir halus saat ia menengadahkan kepalanya ke atas. Mencoba menatap bulan sambil merasakan perihnya air asin yang mendorong masuk ke dalam matanya.

Dalam do'anya, ia memohon sepenuh hati pada Semesta untuk membawanya kembali pada ketenangan yang selama ini diharapkan olehnya. Gelembung kecil keluar dari hidungnya. Kaki bersilanya memanjang, dilepaskannya sendi-sendi yang sebelumnya ia serahkan pada Semesta. Tubuhnya meliuk dalam terpaan ombak, berenang lebih jauh ke dalam samudera. Tangannya menggenggam kehampaan dalam air asin yang mengukungnya. Saat ia lebih dekat dengan cahaya bulan, nafasnya ia sentakkan. Tubuhnya yang basah kuyup di bawah samudera menopang kepalanya yang menengadah ke atas. Mengagumi barisan benda berkilau di atasnya dan Sang Rembulan di tengah-tengahnya.

Si rubah merah mengenakan kembali bajunya setelah sampai di pesisir pantai. Bukan lagi gaun merah, wujudnya sebagai seorang gadis biasa yang kerap tersenyum pada tetangganya sempurna kembali. Masih dengan rambut yang basah dan badan yang menggigil diterpa angin dari utara, ia tersenyum damai. Tanpa mengerti apa yang sebenarnya menenangkannya dan masih bertanya-tanya kenapa angin dingin dari utara membawanya dalam ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Perjalanannya menuju rumah sederhananya dihadang oleh laki-laki kecil dengan baju putih kedodoran sepaha. Laki-laki itu tersenyum berlari memeluknya. Mereka berdua tertawa kecil sambil kembali menapaki jalan setapak di antara pepohonan dalam kegelapan malam.

"Kau sangat menakjubkan malam ini" ucap laki-laki kecil itu dengan wajah senangnya.

"Aku tersanjung, Yang Mulia Pangeran" jawab si rubah kecil bercanda.

"Kurasa aku akan kembali menjadi Tuan Putri lagi saat bulan purnama kembali kehilangan kesempurnaannya" timpal si kecil sendu.

"Kukira semua pelamar sudah pergi dari Kota ?"

"Seorang Pangeran dari Utara datang dan mungkin kali ini aku harus benar-benar berpisah denganmu"

Si rubah merah tersentak, menggenggam erat jemari lelaki kecil dalam ruas-ruas jemarinya.

Dimakan BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang