" YAAA!!! Dasar pembawa masalah! Kau lihat, anakku harus terbaring antara hidup dan mati karnamu!". Teriakan itu memenuhi lorong rumah sakit yang cenderung sepi, sementara seorang gadis justru menunduk menatap sepatunya sebelum menatap wanita paruh baya yang tadi berteriak.
"Mianhae ahjumma. Tapi, semua ini tak akan terjadi bila anak yang sangat anda sayangi tidak pernah berusaha untuk mendekati saya, atau mungkin anda bisa menyalahkan wanita yang melahirkan saya". Tatap gadis itu dengan nyalang, kemarahan, sedih, kecewa, entah apa yang benar-benar ingin ia sampaikan.
PLAKK!!!
Tamparan itu seakan mengembalikan gadis itu pada realita. Bukan, sungguh salah jika wanita paruh baya itu mengira tamparannya menyakitkan, nyatanya gadis itu hanya berjengit sebelum beranjak.
"Saya permisi Nyonya Kim. Setelah ini saya berjanji tak akan bertemu anda maupun anak anda". Ucap gadis itu sebelum benar benar melangkah pergi, mengabaikan teriakan marah itu, mengabaikan realita bahwa ia mungkin akan merindukan sosok tersebut.
.....
11 tahun yang lalu
"Myungeun-ah, kaja. Ahjumma sudah menunggu dibawah". Seseorang memanggil gadis kecil yang tengah menatap televisi.
"Nde oppa...". Gadis itu, Myungeun segera beranjak. Mengikuti langkah kecil sepupunya sambil tersenyum.
"Oppa... kau tau aku tadi menonton kartun, tapi aku benci!". Ucapnya sembari menyamakan langkah.
"Benci? Apa yang kau benci Myung-ah?".
"Aku benci melihat tokoh penjahat dikartun itu, bukankah dunia lebih baik tanpa seseorang yang antagonis?". Tanyanya polos.
"Ah, kau tau ketika kau nanti dewasa kau akan mengerti. Tapi biar oppa beri tahu sesuatu, terkadang antagonis adalah orang baik yang tersakiti, atau sangat mungkin kita adalah antagonis dimata orang lain". Bisik namja itu sebelum menggenggam tangan gadis kecil menuju ruang makan.
.....
"Oppa, apakah harus sesakit ini? Aku terbiasa menjadi antagonis bagi orang lain, tapi haruskah sesakit ini ketika melihat eomma yang membenciku?".
"......"
"Aniyoo, aku tak menangis, hanya benci dengan rasa sakit ini".
"......"
"Ah, tak perlu. Aku tahu oppa lelah bekerja. Sampaikan saja salamku untuk ahjumma dan halmoni".
"Kau yakin? Oppa bisa menjemputmu sekarang Myung-"
"Aniyaaa, aku baik-baik saja. Sudah yaa kututup dulu".
Gadis itu menutup teleponnya dan menatap senja dengan getir, pemandangan yang dulu sangat disukainya. Tatapannya kosong, namun pikirannya masih mengarah pada kejadian tadi ketika ia melihat namja itu tertabrak truk dan berakhir dirumah sakit. Tersenyum miris, pada akhirnya ia harus menyelesaikan semuanya, segala hal tentang hidupnya.
"Nde eomma, aku akan pergi dari hidup Seokjin dan eomma". Bisiknya sebelum beranjak pergi.
Myungeun, gadis itu tau, bahkan amat mengenal sosok wanita yang tadi berteriak bahkan menamparnya. Ibu Kim Seokjin, namja yang terus berusaha menjadi temannya selama 3 bulan ini dan namja yang sangat dibencinya. Namja yang ia berharap bahwa ia akan pergi dari hidupnya yang nyatanya sekarang terkabul. Harusnya ia bahagia, tapi justru sesak yang ia rasakan ketika menyadari bahwa ia nyaris menjadi salah satu alasan namja itu terbaring kritis dan butuh donor jantung secepatnya.