Aku menangis dan tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa menemani Ryan menjalani berbagai macam operasi. Ryan memerlukan banyak darah karena menjalani banyak operasi di tubuhnya. Stok darah di rumah sakit yang golongannya A pun telah habis. Ahirnya aku putuskan untuk mendonorkan darahku pada Ryan karena teringat bahwa golongan darahnya sama.
Hari-hariku dihabiskan untuk menemani Ryan. Aku selalu berada di sampingnya menunggu ia sadar dari komanya. Aku tak peduli rasa letih yang menerpa. Bagiku kesembuhan Ryanlah yang terpenting.
Akhirnya setelah sepuluh hari koma Ryan sadar juga. Namun dia mencari dan memanggil-manggil nama Vania. Aku tak dapat berkata apa-apa. Aku tak ingin Ryan drop mengetahui kenyataan yang ada karena kondisi tubuhnya masih belum stabil.
Pada akhirnya Ryan mengetahui semua itu. Dia sangat terpukul, menyesal dan terpuruk. Dia tak bisa menerima kenyataan bahwa Vania kini telah tiada. Ryan selalu menyalahkan dirinya, dia tak mau makan dan kondisinya semakin memburuk. Aku berusaha untuk menenangkannya, menghiburnya dan tetap berada di sampingnya, walaupun semua itu sia-sia karena duka yang dialami Rian begitu mendalam.
Setahun sudah semenjak kepergian Vania. Ryan mulai bisa mengikhlaskan kepergiannya. Dia kembali ceria, seperti Ryan yang dulu. Hari harinya kini dipenuhi dengan canda dan tawa.
Sore ini, aku mengunjungi makam Vania. Aku berdiri tepat di sebelah peristirahatan terakhirnya, aku memandanginya lalu duduk dan menaburi bunga di atas nisannya. Kupanjatkan segenap doa untuknya agar dia dia tenang disana. Tanpa kusadari seorang pria telah berdiri di belakangku. Dia lalu duduk di sebelahku.
“Nasya, masihkah kamu menyimpan prasaan itu? Perasaan cintamu untukku?”
“Ryan..?” kataku tak percaya.
“Sekarang ku menyadari betapa berartinya dirimu. Kamu selalu setia menemaniku dalam senang maupun susah. Saat ku tergolek lemah tak berdaya, kamu merawatku dengan penuh kasih sayang, kamu selalu berada di sampingku. Kamulah orang yang menguatkanku, membuatku bangkit dalam kerterpurukan. Kamu juga menyadarkanku untuk menerima takdir dari tuhan, untuk mengikhlaskan kepergian vania. Dan apabila memang kamulah takdir cinta untukku maka aku menerimanya. Aku mencintaimu dari ketulusan hatimu.”
“Ryan…” kataku sambil meneteskan air mata.
“Nasya, maukah kamu menghabiskan semua hari-harimu bersamaku? Maukah kamu menikah denganku?”
Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya dapat menangis. Ya, aku menangis bahagia. Tak pernah ku sangka Ryan orang yang selama ini aku cintai melamarku. Dia melamarku di dekat peristirahatan Vania. Aku menerimanya, dan kami berjanji untuk saling mencintai dan menyayangi. Aku lalu memandangi nisan Vania. Aku melihat seolah-olah Vania tersenyum bahagia.