Aku menyukai Kencana dengan aksen merah. Merah lipstiknya, merah cat kukunya, bahkan merah pipinya saat terhantam sinar baskara di tengah sore. Matanya kerap berbinar tiap kali aku memujinya, atau bahkan hanya saat menatapnya. Matanya seakan memintaku untuk menyelami dirinya yang anggara lebih dalam. Di siang yang lengas sehabis dibasuh sucinya hujan, tubuhku berkatalepsi ketika melihat Kenanga menghampiriku dengan langkah mungilnya.
"Hari ini, kuku kaki-ku berwarna Carmine! Bagaimana rupanya?" tanyanya dengan riang sembari menunjukkan kuku kakinya padaku. Responku tidak banyak dan tidak lama, dan tentu saja aku menyukainya. Kencana amat cantik saat aksen merah menempel pada dirinya. Hingar bingar dunia tidak pernah mengganggu apa yang telah duniaku dan Kenanga miliki, hanya merah lah yang menghiasi.
Sejenak setelah dia bertanya tentang rupa kukunya padaku, Kencana terdiam dan menundukkan kepalanya, terlihat sedang memikirkan sesuatu tapi tetap mengawang. Tetapi Kencana kembali bersuara. "Aku sempat berpikir untuk mengganti warna kuning untuk kuku tanganku, Kohl" Ucapnya lirih tanpa resonansi yang kuat untuk sekedar aku nikmati.
"Jangan, Jangan! Tidak bisa, Kencana. Hanya merah yang terlihat cantik padamu. Hanya itu!" ucapku seperti orang keblingsatan. Kencana hanya terdiam lalu mengangguk, ia lalu memelukku dengan tubuhnya yang mungil dan hangat sambil membisikkan maaf. Aku beringsut memegang tangannya. Kulitnya seperti porselen putih yang selalu terjaga. Tidak, warna putih tidak cantik padanya, maka aku menggenggam jemarinya sedikit lebih kuat demi melihat semburat merah.
Demi renjanaku untuk Kencana yang dapat ku gambarkan sebagai api merah yang menyala, Kencana harus merasakan ihwal yang sama untukku ; dalam setiap goresan dan sentuhan pada selangka maupun abdomennya, Kencana harus mengerti dan berkorban sedikit demi itu. Demi renjana beranalogi api yang membakar diri.
Kami hanya berpelukan sambil menikmati desau angin yang berbisik lewat jendela bilik yang berjarak lima senti, seolah ingin mendengar percakapan. Kencana ku semakin cantik ketika sore datang dengan semarak kemerahan baskara yang menghiasi wajahnya, wajah Kencana ku porsinya lebih kecil daripada sebelumnya, matanya lebih gelap dari biasanya, tetapi tetap cantik karena merahnya pewarna bibir yang dikenakannya. Tubuh Kencana menegang saat aku mencoba menciptakan merah pada lengannya, tetapi hanya itu. Ia tetap memelukku erat dalam diam, karena Kencana pun tahu. Tidak ada yang mencintainya sebanyak aku, dan merah yang melekat pada dirinya.
"Demi bejana waktu yang berjalan. Harus berapa banyak lagi?" lirihnya sambil terus mengusap rambutku yang belum dipangkas itu. Matanya menelisik ke dalam mataku seolah mencari sisa-sisa harapan hidup yang sejak dahulu Kencana elu-elukan untuk aku pertahankan. "Sampai durjana dalam diriku hilang, Kencana." Aku berbisik pelan pada rongga telinganya, mendorong agar kalimatku masuk lebih dalam lagi.
Kencana ku tanpa merah dalam dirinya bagai malam tanpa ribuan asterisk di langit, bagai surau tanpa kaligrafi, bagai buku berisikan kata kotor. Kencana ku menjadi tidak cantik tanpa merah. Tuhan pun tahu bahwa aku telah berjanji pada diriku sendiri akan menciptakan merah yang lebih megah dan lebih syahdu. Agar tiap merahnya terpatri dalam diri Kencana.
"Renjanaku tidak akan pernah mati, Kencana. Begitu pula renjana ku pada dunia merah yang kita pondasikan" Ucapku sembari menyentuh sudut bibirnya, Ah—bibir mungil berwarna merah yang selalu berucap kalimat manis akan dirinya yang mencintaiku. Tiap inci tubuh Kencana bagaikan gula-gula bagiku, begitu manis dan nyaman. Aku akan terus menjaga Kencana agar tetap hidup, agar dunia merah ini tetap terjaga dengan tentram.
"Kohl? Ayo hentikan memetakan merah dalam dunia ini—dalam dunia kita" ucap Kencana pelan dan tertatih, seakan tahu bahwa ia akan merusak semuanya. Seakan tahu bahwa ia akan merusak diriku. Tetapi Kencana ku salah, ia tidak akan merusak ku. Ia hanya akan merusak dirinya sendiri.
Aku mulai mencekal jangganya lembut lalu beringsut kuat, membawanya ingin menggapai oksigen lebih. Betapa cantiknya diri Kencana saat ini, dengan merah yang terpatri di jangganya. Begitu menarik hati dan membangkitkan semarak asa dalam diri. Ku coba lagi mematri merah atas rusuknya, betapa luar biasa cantiknya Kencana saat melahirkan getih merah dari bibirnya yang mungil dan tipis, dirinya melenguh lalu menuntut dekapku. Maka aku mendekapnya, mencoba menenangkan nafasnya yang mulai memburu dengan menyisir rambutnya lembut, Kencana ku tahu—ia harus tahu dan paham bahwa ia harus berkorban sedikit demi dunia merah ini. Aku harus mempercayainya lagi, bahwa dunia merah ini tidak akan pernah bisa kita tinggalkan—tidak pernah bisa Aku dan Kencana tinggalkan, tidak ada satu pun dari kami yang akan keluar.
"Kenapa?" tanya Kencana ku di sela-sela dirinya mengeluarkan getih. Tak dapat ku pungkiri, ini adalah saat di mana Kencana terlihat begitu jelita di mataku.
Aku menggenggam tangannya lalu menghidu buku-buku jarinya, dan berbisik melalui rongga telinganya. "Karena renjanaku tidak akan pernah mati, Kencana. Untukmu, dan merah yang terpatri dalam dirimu."