- 1 -

208 2 0
                                    



"Bunga, bangun nak."

"Bunga, ibu di sini. Bangun sayang."

Samar aku mendengar suara seseorang yang terus memanggil namaku. Aku pun merasakan jka orang tersebut menggoyangkan tubuhku secara perlahan. Ibu? Mungkinkah dia? Aku membuka kelopak mataku secara perlahan. Cahaya lampu memasuki indra penglihatanku, membuat aku dapat melihat dengan samar.

"Duduk, nak. Sini ibu bantu." Orang tersebut membantuku untuk mendudukan tubuhku. Kini aku bisa melihat dengan jelas. Namun, sepertinya ini tidak seperti yang aku harapkan. Di hadapanku bukan ibu dan ia tidak seorang diri.

"Ibu khawatir karena tadi kamu tidak bersuara saat ibu memanggil dari luar. Jadi, ibu minta pihak keamanan mengizinkan ibu masuk."

"Bunga, kamu gak papa? Bu Fatimah dan Bu Dian khawatir."

"Tadi ibu ke rumah ayah kamu, tapi katanya kamu ada di rumah ini."

"Bunga sudah makan? Mau ibu belikan makan?"

Mereka Bu Fatimah dan Bu Dian, guru di sekolahku. Mereka terus berbicara. Namun, aku tidak bisa mendengarkan mereka. Semuanya seolah kabur di hadapanku saat ini. Pandanganku tidak fokus, telingaku seakan tuli dan mulutku seperti bisu. Aku tidak memahaminya. Apa yang aku lakukan? Mengapa aku di sini? Mengapa aku seperti ini?

"Temen-temen nanyain Bunga. Mereka kangen sama Bunga."

"Ayo Bunga ke sekolah lagi. Sebentar lagi ujian. Guru-guru juga rindu sama Bunga."

"Bu, Bunga mau keluar sekolah." Aku tidak tahu apa yang aku katakan. Aku tidak mengerti mengapa aku mengatakannya. Yang aku tahu saat ini, aku ingin lepas dari semuanya. Aku tidak ingin dibebani apa pun lagi.

"Bunga, jangan terburu-buru. Ayo kita obrolin bareng-bareng lagi sama Ayah Bunga."

"Biar Bunga yang bilang sama ayah. Bunga kasian sama ibu harus terus-terusan bujuk Bunga begini. Bunga butuh waktu sendiri, bu. Ini semua terlalu berat bagi Bunga."

"Yasudah, kalo itu keputusan Bunga, ibu tidak bisa apa-apa. Ibu akan bicara dengan Ayah Bunga. Bunga ngantuk? Bunga butuh istirahat? Sekarang Bunga tidur dulu, ya. Ibu akan coba temui Ayah Bunga lagi."

Mereka berpamitan dan memelukku. Entahlah, mungkin mereka sudah lelah. Mungkin mereka menyerah untuk terus meyakinkanku. Aku pun, aku pun sudah sangat lelah dengan diriku. Saking lelahnya tanpa sadar aku kembali tertidur tepat setelah Bu Fatimah dan Bu Dian menutup pintu rumahku.



'Drrt.. Drrt.. Drrt..'

Lagi-lagi aku terbangun. Aku membuka mataku dan melihat ponsel genggamku yang sudah terjatuh ke lantai. Aku mengambil ponselku dan melihat ada 8 panggilan tak terjawab dan 1 pesan dari ayah. Aku membuka pesan tersebut sebelum akhirnya menghela nafasku dan segera bangkit.



'Dari : Ayah

Bunga, ke rumah ayah sekarang.

Ayah perlu bicara dengan kamu.'





Kurang lebih setelah sekitar satu jam setengah aku sudah tiba di rumah ayah. Aku membuka pintu dan melihat bunda beserta kedua adikku menatap ke arahku. Kemudian ayah keluar dari kamarnya dan segera mengajakku ke ruang tamu untuk berbincang.

"Itu keputusan kamu? Kamu bener-bener pengen berhenti sekolah? Di akhir semester seperti ini?" Aku diam. Entah apa yang harus kukatakan. Rasanya aku tak bisa berkata-kata.

"Kamu mau jadi apa? Apa yang bisa kamu lakuin hidup di jaman sekarang tanpa ijazah? Kamu mau seperti ibu kamu? Kamu pengen ikut dia?" Aku menengok tak suka. Kenapa dia tiba-tiba membahas ibu? Apa keputusanku adalah sebuah dosa besar?

"Ini semua murni keputusan Bunga. Jangan bawa-bawa ibu untuk semua keputusan Bunga. Ayah gak perlu khawatir. Ayah cukup kirim nafkah bulanan Bunga. Bunga bisa urus diri Bunga sendiri."

"Ayah kecewa sama kamu. Tapi kamu sudah besar, sudah bisa menentukan bagaimana kamu hidup. Cuma satu pesan ayah, penyesalan itu akan datang di akhir."



Aku tidak ingin berlama-lama di rumah ayah. Aku langsung pulang begitu pembicaraanku dengannya selesai. Aku memasuki kamarku dan berbaring di atas tempat tidur. Aku menatap langit-langit kamarku dan kembali merenungkan semua yang terjadi.



Apa ini memang apa yang aku inginkan?

Apa memang ini yang terbaik yang bisa aku lakukan?

Bukankah saat kecil impianku adalah bersekolah setinggi-tingginya?

Tapi, apa yang terjadi padaku?

Mengapa ini semua bisa terjadi kepadaku?

Mengapa semuanya jadi rumit?

Mengapa semuanya terasa berat dan menyesakkan?

Tapi, mengapa aku tidak merasakan emosi apa-apa?

Bukankah seharusnya aku menangis, setidaknya karena keputusan bodohku?

Apa aku terlalu terbiasa hingga aku tidak merasakan apa-apa lagi?



Aku bangkit dan terduduk di pinggiran tempat tidur. Pandanganku menangkap sebuah bingkai foto yang berada di meja kecil di samping tempat tidurku. Aku mengambilnya dan menatap sosok yang ada di dalam foto itu.



Bu, apa kabar?

Apa kini ibu sudah bahagia di sana?

Apa keputusan ibu benar?

Apa ibu tidak merindukanku seperti aku merindukan ibu setiap harinya?

Bu, maaf.

Kini aku perlahan lupa.

Aku lupa suara menenangkan dan wajah ibu.

Aku bahkan lupa rasa sakit saat melihat ibu tidak bergerak di hadapanku.

Maaf, bu, aku perlahan mati rasa.



Jika kalian bertanya tentang ibuku, dia sudah pergi. 10 tahun yang lalu, 2 bulan setelah ayah membawa Bunda Rita dan kedua anaknya ke rumah kami, ibu memutuskan untuk pergi. Meninggalkan aku seorang diri yang saat itu masih berusia 7 tahun. Tidak, aku tidak menyalahkan ibuku. Aku tidak kesepian karena sebuah kehilangan. Aku hanya belum bisa menerima diriku sendiri bahwa aku kesepian dan aku butuh sebuah pelukan.

Tuhan, peluk akuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang