- 3 -

31 2 0
                                    



Setelah beberapa kali bertemu dan berbincang dengan Samuel, aku merasa sedikit lebih baik. Rasanya perlahan aku mulai memiliki harapan kembali. Rasanya aku masih ingin mengetahui apa yang akan terjadi padaku esok hari. Apakah kini aku mulai menerima diriku? Apakah aku mampu untuk memiliki semangat hidup lagi?

Aku melihat layar ponselku. Oh, hari senin. Apa sebaiknya aku menemui ayah? Setidaknya ia harus tahu jika aku masih hidup sampai saat ini. Bukan begitu?



"Kalian gak liat kakak kalian? Dia capek karena ulah dia sendiri. Dia yang bikin sekolah dia berantakan. Kalian mau seperti dia? Kalian mau ikut-ikutan ngecewain ayah seperti dia?"

"Ayah, jangan bilang gitu. Rika dan Riko gak akan gagal. Setidaknya ibu mereka masih hidup. Jangan samakan kami dengan Bunga dan ibunya."

Aku baru saja tiba saat ayah dan keluarganya tengah berbincang. Aku mendengarnya. Cibiran mereka pada aku dan ibuku. Namun, apa yang bisa aku lakukan? Memarahi mereka karena sudah merendahkanku dan ibu mungkin sesuatu yang sia-sia. Maka, aku memutuskan untuk berlalu melewati mereka dan masuk ke dalam sebuah kamar yang mereka siapkan untukku.



Sepertinya aku menyesali keputusanku kemarin yang pergi menemui ayah. Sampai kapan pun, mereka akan tetap sama. Menyanjungku saat aku sedang berada di atas dan menggunjingku saat aku tengah terpuruk.

Aku mengisi bak mandi dengan air. Setelah penuh, aku memasukkan diriku ke dalamnya tanpa mematikan kran airnya terlebih dahulu. Tidak, aku tidak sedang berniat untuk mandi. Aku memakai pakaianku dengan lengkap. Namun, perlahan aku mulai menenggelamkan diriku ke dalam bak mandi.



Rasanya gelap, sesak dan kosong.

Bu, apa ini yang ibu rasakan?

Apa begini cara ibu pergi?

Apa ibu membiarkan kegelapan dan kehampaan ini mengisi seluruh diri ibu?

Apa memang tidak ada cara yang lebih baik untuk pergi?

Apa ini satu-satunya cara yang ibu miliki?

Atau mungkin ibu memiliki cara lain yang lebih tragis yang tidak ibu pilih?

Apa kini aku akan mengikuti cara ibu pergi?

Apa ibu sudah bersiap untuk menyambutku?



'Drrt.. Drrt.. Drrt..'

Aku tersadar dan segera mengangkat kepalaku dari dalam air. Meraup udara sebanyak-banyaknya. Dalam hembusan nafas yang tidak stabil itu, aku mengambil ponselku dan membuka sebuah pesan.



' Dari : Jihan

Bunga, ayo bertemu.

Aku merindukanmu. Kamu tidak boleh pergi meninggalkanku begitu saja.'



Oh, dari Jihan. Temanku yang lain. Salah satu teman SMA-ku. Apa aku harus menemuinya? Apa yang akan aku jelaskan padanya? Mengapa aku harus banyak menjelaskan pada orang lain?



Pada akhinya aku menyetujui untuk bertemu dengan Jihan. Kami janji bertemu di salah satu kafe di dekat rumahnya. Aku tiba lebih dulu. Aku bisa mengerti mengapa ia terlambat. Tentu saja ia masih pergi bersekolah, beda denganku yang saat ini sudah menjadi seorang pengangguran.

"Bunga, kamu nunggu lama?" Jihan tiba dan langsung duduk di hadapanku. Setelah memesan satu jus mangga ia kembali berbincang denganku.

"Kenapa kamu bergi gitu aja? Kenapa kamu gak pamit dulu sama temen-temen? Kenapa tiba-tiba? Bunga yang aku kenal gak gini."

"Mungkin bagi kalian ini semua tiba-tiba, tapi bagi aku ini sudah terjadi sejak lama dan terasa secara perlahan-lahan."

"Aku mungkin gak paham apa yang kamu rasain. Aku mungkin gak paham apa alasan kamu. Yang aku tau, kamu pasti bisa lebih baik lagi." Jihan mengelus lenganku dengan lembut dan memberikanku senyuman hangatnya. Apa ia benar-benar tulus memberikan simpatinya padaku?

Kemudian, Jihan pamit pergi ke toilet. Saat Jihan sedang di toilet, terdapat satu pesan masuk ke ponselnya. Karena Jihan tidak mengunci ponselnya, aku bisa melihat dan membaca dengan jelas isi pesan yang ia terima.



'Dari : Mamah

Jihan, mamah liat kamu sama temen kamu si Bunga itu. Cepet pulang. Jangan bergaul sama dia. Ibu dia aja mati bunuh diri. Mamah gamau kamu terpengaruh sama dia.'



Tidak lama Jihan kembali. Selama sisa perbincangan kami diisi dengan cerita kelakuan teman-teman di sekolah. Tentu saja dengan aku yang berpura-pura tidak mengetahui isi pesan dari Mamah Jihan.



Setelah bertemu dengan Jihan, pikiranku semakin kosong. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Bahkan tanpa sadar aku mengirimkan suatu pesan aneh yang aku tidak pahami mengapa aku bisa menulis pesan itu kepada Samuel.

Aku penasaran. Apa Samuel berbeda? Atau ia sama saja seperti mereka? Seperti Kak Johan yang berlagak mengenalku dengan baik. Seperti Jihan yang berpura-pura bersimpati padaku. Atau seperti Mamah Jihan yang dengan terus terang tidak menyukaiku.

Aku dan Samuel baru saja berkenalan beberapa minggu yang lalu. Jadi, kurasa mereka tidak jauh beda dengan kenalan lamaku. Logikanya, orang-orang yang sudah lama mengenalku saja meragukanku, apalagi dia?

Di satu sisi aku berharap jika Samuel berbeda. Aku berharap ia mampu membuatku memiliki harapan untuk hidup. Namun, di sisi lain aku tidak akan terkejut jika ia sama seperti mereka. Aku takut jika ia mengenalku sedikit lebih lama lagi, maka ia akan sama seperti mereka.

Semuanya sangat membingungkan. Yang lebih membingungkannya lagi, mengapa aku bisa berada di sini? Berdiri di ujung atap gedung apartemen tempatku tinggal. Aku benar-benar tidak menyadarinya. Apa ini cara Tuhan memberitahuku agar segera melepas semua rasa sesak ini? Apa ini cara Tuhan untuk bertemu denganku dan memelukku? Apa dengan ini semuanya berakhir? Apa memang ini yang aku inginkan? Apa aku mampu melakukannya?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 06, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tuhan, peluk akuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang