Prolog

18 1 1
                                    

Bagian 0 : Prolog

                                       ...

Sensasi dari suasana pagi. Dimana udara masih segar nan bersih, belum terkontaminasi. Burung-burung berkicau ria melantunkan lagu penanda hari baru. Mentaripun masih tampak malu-malu untuk menunjukan sinar terang-benderangnya.  

Di sisi jalan lebar, terlihat seorang anak lelaki berjalan lengkap dengan seragam sekolahnya. Ia berjalan dalam diam. Mengabaikan kabut pagi yang menghempas helaian rambut hitamnya. Matanya memandang kosong pola trotoar yang ia pijaki selangkah demi selangkah saat ini. Bibirnya tertutup rapat, seolah tak mengizinkan udara lain masuk ke dalam area mulutnya.

Reza Alfadi—itulah nama lengkapnya. Seorang anak kelas 6 Sekolah Dasar. Orang yang cukup serius, namun kadangkala suka ngelawak dan bercanda. Hari ini ia datang lebih pagi ke sekolah dari waktu-waktu biasanya. Itu karena hari ini kebetulan anak yang akrab disapa Reza tersebut  bangun lebih pagi.

Kini, ia telah berjalan sampai di ambang pintu penyambut datang sekolahnya. Dan segera masuk ke dalamnya.

 Namun tiba-tiba ada orang lain yang berlari kencang ke arah Reza dan merangkul pundaknya.  Sontak saja, Reza langsung terkejut terhadap kejadian mendadak itu.

“Eeeh!”

“Pagi, Rez!”

Setelah Reza mengetahui dalang dari peristiwa tersebut, yaitu temannya sendiri, ia menghembus nafas cepat. Sedangkan orang yang mengejutkan Reza tadi, tidak enak melihat respon temannya dan melepaskan rangkulannya. Reza menjatuhkan bahu sambil berkata dengan nada kesal.

“Aduh, kalo nyapa selamat pagi jangan sampai begitu juga,”

“Yah, maaf-maaf! Aku gak tau kamu bakal marah karena ini!”

“Gak marah juga sih—“

“Lah terus?”

“Terus apa? Pagi-pagi jangan kepo ah!”

“Aku gak tau kemana pembicaraan ini berlanjut,”

“Ssshhh...”

Perbincangan pagi yang tak jelas ini diakhiri juga oleh desahan Reza. Karena, baru saja matahari terbit, sudah ada prilaku temannya yang cukup menyebalkan. Dan mereka jalan menuju kelas masing-masing.

Letak kelasnya dari gerbang utama sekolah sedikit jauh. Ia harus melewati lapangan upacara sekolah dan beberapa kelas lain lalu menaiki anak tangga hingga lantai dua. Reza harus memaksakan tenaganya sedikit lagi. Mungkin sampai di kelas ia dapat duduk santai sambil membaca beberapa buku.

Teman Reza yang tak lain adalah pelaku peristiwa tadi—Aldo segera mengambil ancang-ancang karena  kelasnya sendiri yang sudah dekat.

“Dah!”

Reza merespon ucapan Aldo dengan menaikan dua pasang alisnya. Lalu ia menatapi Aldo yang berlari kecil mendahuluinya menuju ruang kelas 4.

Itulah yang membuat Reza sedikit kesal tadi, dikejutkan dengan cara seperti itu oleh anak kelas 4 yang notabenenya adalah adik kelasnya. Sungguh tidak sopan bukan?

Tanpa memikirkan hal tersebut lebih panjang, sekarang perhatiannya tengah tertuju pada seseorang yang tengah menyapu di depan kelas 4 yang dimasuki Aldo barusan. Seorang murid gadis yang  sedang menyapu dengan anggunnya. Mata Reza begitu lekat memahami gerak-gerik gadis itu. Sapu yang digengam oleh sang gadis begitu indah berayun-ayun bagaikan tengah mengikutin nada lagu beraliran slow. Tanpa disadari ia telah tenggelam dalam pandangannya.

“REZA!!”

Sesuatu yang meneriaki namanya. Mengacaukan acara berjalan sambil melamun Reza. Asal suara yang berasal  dari lantai atas. Tepatnya berasal dari area kelasnnya.

Sambil mengernyitkan dahi, Reza mendongak ke atas kemudian membalas berteriak.

“APA?!”

Reza menatap dalam-dalam temannya yang baru saja memanggilnya.

“PAGI!!”

Bagus—kali ini sudah ada dua orang yang telah membuatnya kesal hanya demi menyapanya dengan kata, ‘pagi’. Kesal  karena mereka berdua menghancurkan dunia mengkhayal di balik lamuan Reza. Tapi, ini bukan masalah yang terlalu besar baginya.

Kehilangan kata-kata, Reza hanya mendengus udara pagi dan melanjutkan jalannya. Kini, ia hanya tinggal menaiki tangga untuk mencapai kelasnya.

Sampai di depan kelas, temannya yang tadi berkata, ‘pagi’  itu masih berdiri setia berdiri di ambang pintu kelas.

“Pagi!”

Ucapnya sekali lagi, dengan nada yang lebih kecil dan bersikap polos.

“Ahh... pagi juga.”

Akhirnya Reza menyahut sapaannya dengan baik. Diikuti langkah kakinya yang mulai masuk ke dalam kelas. Menuju bangku tepatnya.

Keadaan kelas sepi. Hanya ada beberapa orang tengah duduk bermalasan sambil berbincang. Dan beberapa petugas piket yang menjalankan piketnya.

Dan seperti yang ia harapkan, Reza kali ini dapat bersantai dan membaca buku favoritnya sambil menunggu jam pelajaran kan dimulai.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 06, 2014 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Barries LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang