Prolog

22 0 0
                                    

.



.



.

Lelaki bertubuh mungil itu kembali menaikkan kacamatanya yang beberapa kali melorot. Diedarkanya pandangan pada sekitarnya. Semenjak beberapa menit yang lalu, Ia menunggu seseorang. Namun entah mengapa entitas manusia yang diharapkanya tak kunjung menampakkan diri. Sedari tadi jalanan beraspal abu-abu dengan pepohonan rindang tersebut hanya tertutupi oleh daun-daun kering yang berserakan, bebatuan kecil bergelimpangan, dan sorot cahaya matahari yang menelisik, menembus celah-celah ranting. Beberapa gadis yang lewat dan tak sengaja melihatnya berbisik-bisik sembari tersenyum malu.

Bagaimana tidak. Di usianya yang kini hampir menginjak kepala empat, tinggi badanya masih saja mungil, kulitnya masih mulus kecoklatan, dan wajahnya masih nampak menggemaskan dengan manik kelam yang kerap mengerjap ketika Ia merasa silau. 

Sekali lagi, pandanganya berpendar, namun kali ini mengarah pada langit biru dan sebuah bangunan bercat putih yang sampai saat ini masih berdiri kokoh. Bibirnya mengulum senyum kala memorinya memutar kenangan-kenangan manis bersama seseorang.

Seseorang yang kala itu berhasil membuat hatinya mekar kembali.

Dan kini, Ia sedang menunggunya. Ia menunggunya muncul dan mengatakan sesuatu yang selama ini Ia tunggu.

"Awan!"

Lelaki berkacamata itu lantas menoleh ketika namanya disebut. Senyumanya napak semakin melebar.


.



.



.



Semua yang Awan lalui selama ini rasanya seperti untaian nada, berjajar dalam segmen-segmen birama, dan tertulis pada sebuah partitur musik. Bisa meninggi lalu terjatuh, dipercepat lalu diperlambat, dan bahkan beberapa kali ditunda ketika Ia merasa tak yakin.

Untaian nada indah yang dulu pernah Ia ingin ciptakan tertunda di tengah jalan, melambat, lalu berubah menjadi nada yang 'mati'.

Namun kehadiran sosok itu seakan membuat nada-nada itu hidup kembali.

Akankah Ia mendapatkan kebahagiaan sejatinya?


.



.



.

elitedelta, 2018.

[BL] B I R A M ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang