RANDOM STRANGERS

3 0 0
                                    

  "Jadi berapa semuanya, tante?" jawabku sambil menjangkau dompet yang letaknya agak tersembunyi di dalam tasku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

  "Jadi berapa semuanya, tante?" jawabku sambil menjangkau dompet yang letaknya agak tersembunyi di dalam tasku."Sebentar, tante" sambungku.

"Duh santai aja, kamu kapan bisa ambil? Dua hari lagi bisa?" ujar Tante tukang jahit tersebut.

Jujur saja, sudah agak lama rasanya aku menjadi pelanggan tetap di tempat ini, namun sampai sekarang aku tak mengetahui nama pemilik dari usaha jahit ini. Sungguh jahat memang kuakui. Tapi tak apa, toh kami memang murni bisnis. Meski kadang tak semurni itu.


"Bisa-bisa, dua hari lagi Inda kesini. Bayarnya boleh nanti tan?" ujarku merayu."Iya gak apa. Inget tuh kata tante, jangan serius-serius dulu. Nanti malah kayak tante lho" sejenak tersirat kilasan sayu dimatanya.


"Iya, tante... Yuk tante, pamit ya" aku pun melangkah pergi sambil tak lupa meninggalkan senyum.


Kuambil helm berwarna abu-abu kesukaanku dan menyalakan mesin motor.Sepanjang perjalanan, aku terus merenungi pembicaraanku dengan tante tukang jahit tadi. Meski pun kami sudah mengetahui satu sama lain lewat percakapan pelanggan dan penjual, namun aku tetap menganggap tante tersebut sebagai orang asing. Coba kau pikirkan sejenak bagaimana biasanya usahawan menarik minat pelanggannya (oke, usahawati, *terkesan jadul banget penggunaannya): ialah dengan membuat pelanggannya nyaman lewat small talk. Apalagi di penjual berjenis kelamin perempuan, dan pelanggannya (baca: diriku sendiri) adalah seorang perempuan juga. Lengkaplah sudah persyaratannya.


Anyway, aku hanya ingin mengatakan dan dalam upaya menegaskan bahwa tante ini adalah seorang stranger. Alias orang asing. Tapi taukah? Dalam waktu sekitar 10 menit tadi, kami sempat berbincang sesuatu yang agak personal. Terlalu personal mungkin. Si tante bercerita tentang kisah cintanya (klise mungkin). Awalnya hanya membicarakan pendidikanku dan tante itu pun membagikan sedikit cerita tentang jenjang pendidikan yang pernah ia tempuh. Kala membahas tentang saran-saran kehidupan (duh, berat ya), si tante pun bertanya padaku:

"Sudah punya pacar?"

Dan dengan sederhana tentu aku menjawab:"Sudah tante..."

Nah, dari sanalah semuanya bermula. Ia pun memulai ceritanya yang tragis. Bisa kusebut tragis karena aku tak sampai hati mendengarnya. Semacam ada rongga di dadaku yang dipaksa untuk dirobek. Semua bermula ketika tante berpacaran dengan teman satu kampusnya. Mereka berpacaran semenjak semester dua. Jika aku tak salah ingat, hubungan itu berlangsung selama 4 tahun. Termasuk kala skripsi, wisuda, dan masanya mereka bekerja. Aku membahas ini karena hal-hal tersebut merupakan poin penting mengapa cerita ini tragis.

Ketika si lelaki diangkat lebih dulu untuk menjadi pegawai negeri, si perempuan (alias si tante) masih harus menunggu dan berusaha sebisanya untuk mendapat pekerjaan sebagai pengajar. Ia bercerita bahwa usahanya benar-benar sudah sangat maksimal untuk mengimbangi si lelaki. Namun apa daya, si tante malah ditinggalkan dengan alasan bahwa mertua si lelaki menolaknya karena ia belum diangkat sedangkan si lelaki sudah.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 08, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

RANDOM STRANGERSWhere stories live. Discover now