Orang-orang tanpa menyadari membentuk suatu rasa yang namanya cinta. Entah berawal dari mana, dengan cara seperti apa hingga rasa yang dapat memicu debaran di dada meletup-letup seperti kembang api itu muncul. Namun terkadang membawa gejolak panas yang menyesakan dada hingga meletus menjadi akhir rasa tersebut.
Hinata berjalan menggandeng seorang anak kecil berumur lima tahun. Memiliki rambut berwarna cokelat yang ditata rapi, ia mengikuti Hinata sambil memakan es potong.
Sudah tiga tahun berlalu, tetapi Hinata selalu terbayang waktu-waktu di jalan Gwanghwamun yang selalu ramai. Sekali ia mengingat bagaimana tangannya digenggam di dalam saku mantel si lelaki, bagaimana ia tersenyum kepada lelaki bermata biru yang rupanya membawa dampak hingga saat ini.
Pada musim dingin tiga tahun lalu, Hinata tanpa menyadari membuat suatu hubungan tak jelas dengan lelaki bernama Uzumaki Naruto. Hubungan tanpa ikatan yang keduanya lalui bagaikan ikatan asmara antara dua remaja yang sedang belajar di Seoul. Tanpa diungkapkan dengan kata cinta, tetapi merasa saling memiliki dalam hati dan pikiran masing-masing.
Hubungan yang rumit, yang mereka sendiri tidak bisa memperjelas lantaran rasa ragu di antara keduanya.
Hingga pada akhir musim dingin, Naruto meminta bertemu di tempat yang menjadi andalan mereka. Di bawah pohon maple, Hinata duduk di bangku kayu. Hujan salju tak lagi terasa dingin kala itu menyangkut Naruto. Ia duduk di sana memakai pakaian hangat dan membawa dua cangkir vanilla latte yang masih mengepulkan asap.
Tak berapa lama kemudian, Naruto datang dengan pakaian yang sama hangat, tetapi begitu rapi. Seperti hendak bepergian. Dan pertemuan kali ini, Naruto seperti hanya akan berpamitan saja.
Perasaan was-was begitu saja muncul, membuat Hinata terdiam beberapa saat hingga pada akhirnya Naruto mengguncang bahu Hinata.
Naruto menghela napas, merasa berat untuk menyampaikan sesuatu. Bahkan lidahnya pun rasanya tak ingin bergerak dan tetap diam seperti itu. Ia tidak ingin mengatakan apa yang harusnya dikatakan. Hal itu membuatnya begitu merana mengingat tak lagi banyak waktu yang ia miliki.
Satu jam lagi, ia harus terbang ke Jepang.
Selama satu musim, Naruto berangsur merasakan gejolak aneh saat bersama Hinata. Seperti, dadanya berdegup-degup seolah jantungnya bisa melompat kapan saja ia mau. Perutnya tergelitik, wajahnya panas dan membuatnya ingin selalu membuang napas gerogi.
Perasaan macam itu, Naruto tahu namanya. Ia bukan lagi anak kecil yang naif. Namun ia masih saja ragu, tidak percaya diri untuk mengungkapkannya.
Sama seperti Hinata. Gadis itu pun merasakan apa yang Naruto rasakan, tetapi tidak mampu mengatakan. Alih-alih saling memberi, mereka menyimpan sendiri di dalam hati.Mereka tahu, mereka pun juga peka. Maupun Naruto dan Hinata memiliki pikiran bila mereka saling suka. Namun keduanya tidak berani mengambil kesimpulan semacam cinta mereka saling balas. Mereka tidak berani lebih percaya diri, tak mau mengakui jika memang hal itu terjadi.
Naruto takut, bila dugaannya ternyata salah. Jika ia lah yang terlalu percaya diri menganggap Hinata suka padanya.
Hinata takut, jika rupanya ia salah mengira. Bahwa dirinya yang besar kepala jika Naruto menyukainya, padahal tidak.
Mereka sungguh naif.
"Hinata, kalau aku pulang ke Jepang, bagaimana?"
Hinata tersentak. Itu bukan lagi perasaan buruk yang belum tentu terjadi. Naruto memang akan segera pergi meninggalkannya.
"Su-sudah aku duga. Pakaianmu begitu rapi dan … kau pasti akan pergi …."
Keduanya terdiam. Ragu-ragu dengan sesuatu yang membebani mereka. Apakah harus diungkapkan atau tidak.
Naruto maupun Hinata memiliki ketakutan yang begitu besar akan penolakan. Lantas mereka memutuskan untuk tetap diam selama lima belas menit."Aku harus pergi sekarang … jaga dirimu baik-baik. Jangan lupakan aku, ya!"
Hinata ingat bagaimana Naruto tersenyum dan menggenggam tangannya, di saat ia basah kehujanan setelah kepergian Naruto, di saat ia kepanasan menunggu Naruto yang barangkali datang. Hinata meleati masa-masa menyedihkan itu.
Sebutir air mata jatuh tanpa Hinata inginkan. Isakannya pun membuat anak kecil di sampingnya mendongak heran.
"Kakak, kenapa menangis?" benar, bocah tampan itu penasaran apa yang membuat teman kakak sepupunya menangis begitu saja.
Buru-buru Hinata mengusap air matanya kemudian tersenyum. Rasanya malu menangis di depan anak kecil yang tidak tahu alasan di baliknya.
"Tidak apa-apa, Suha-kun."
"Benar?" Hinata lantas memberi anggukan yakin, dan Suha tidak lagi penasaran.
"Suha-kun!"
"Kak Saki …!"
Suha berlari menghampiri perempuan di sana. Menubruknya dengan sekuat tenaga seperti telah lama tidak bersua. Keduanya bercengkrama sebentar sebelum perempuan berhijab itu menyapa Hinata.
"Terima kasih sudah menjemputnya, Hinata. Pekerjaanku benar-benar tidak bisa ditinggalkan!"
"Tidak apa-apa, Saki. Toh aku suka bermain dengan Suha. Lagi pula aku ini pengangguran, 'kan?"
"Kau pengangguran yang kaya, jadi tidak perlu khawatir. Aku langsung saja, ya? Aku ada rapat lagi setelah ini."
Hinata mengangguk, memberi belaian gemas pada rambut Suha kemudian melambai pada Saki, temannya.
Sudah tidak ada lagi yang dapat Hinata lakukan setelah menjemput Suha. Sekarang ia benar-benar harus menghabiskan waktunya sendiri dengan kekosongan yang terasa abadi. Mengingat kenangan, mengingat segalanya tentang Naruto.
Hinata berbalik mengambil langkah, tetapi berhenti kala itu juga. Jantungnya terasa lepas, tetapi masih berada di tempatnya dan berdetak begitu kencang.
Sudah tiga tahun berlalu, dan letupan itu masih saja Hinata rasakan. Bahkan jauh lebih besar mengingat betapa besar ia menyimpan rindu untuk lelaki di hadapannya itu.
"Naruto …."
Tak mau semakin tersiksa, Naruto mengambil pelukan yang amat erat. Yang mewakili rasa rindu yang selama ini ia pendam. Ditambah lagi perasaan cinta yang tidak ia ungkapkan tiga tahun lalu. Itu sungguh menyiksa. Membuatnya tidak bisa tidur, tetapi enggan untuk menghubungi satu sama lain.
"Hinata, aku senang kau baik-baik saja …."
Tiga tahun adalah waktu yang lama untuk Naruto meyakinkan dirinya sendiri, jika Hinata juga menyukai dirinya. Memang ia tidak menyuarakan perasaannya dulu dan memilih memendam, tetapi sekarang Naruto sudah tidak lagi mampu menyimpannya lebih lama.
"Hinata, harusnya aku mengatakannya tiga tahun yang lalu, tetapi aku baru berani saat ini. Aku cinta padamu."
Mungkin memang tergesa-gesa saat dirinya baru saja bertemu dengan Hinata setelah sekian lama. Namun, mengingat berapa lama mereka saling memendam rasa, saat ini adalah yang paling tepat. Harusnya tidak ada lagi waktu yang terbuang karena kenaifan mereka.
"Aku juga cinta padamu, Naruto."
FIN.
Selamat ulang tahun, Uzumaki Naruto 🎉🎉🎉🎉🎉🎊🎊🎊🎊😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
At Gwanghwamun
FanfictionWritten for Hinata_Centric2017's 365 On Count Ficlet Event #3 Rewrite: New Page. Di jalan Gwanghwamun, Hinata memiliki kenangan indah dengan Naruto. Di jalan itu pula, ia akhirnya berpisah dan dipertemukan kembali dengan Naruto.