Ayah, warna, dan keindahan.

1.1K 194 54
                                    

Ayah itu orang yang istimewa. Lain dari orang kebanyakan. Di saat semua manusia mengagumi dan menyukai keindahan, ayah tidak. Bisa dibilang jika lelaki itu membenci segala bentuk keindahan di muka bumi. Kalau ditanya sebabnya apa, aku juga tidak tahu. Tapi, ayah memilih ibu.

Ibu itu cantik, baik, hatinya lembut dan sama seperti orang kebanyakan. Pengagum dan memuja segala bentuk keindahan. Tapi aku tidak tahu apa yang membuat mereka berdua saling memilih satu sama lain ketika sifat keduanya benar-benar bertolak belakang.

Ibu merupakan wanita dengan mata besar yang teduh. Dagunya bagus berbentuk setengah telur, pipinya selalu merona alami, kulitnya putih, dan bibirnya selalu berwarna merah muda. Wanita itu cantik sekali, perwujudan dari keindahan yang sesungguhnya. Tapi, kenapa ayah bisa suka?

Begitu pula dengan ayah. Lelaki itu punya bekas luka yang tidak kecil. Mungkin dulu lukanya parah sekali dan cukup dalam, karena sampai sekarang bekasnya tidak hilang dan meninggalkan warna kemerahan yang menyilang dari mata kanan, melewati hidung sampai menyentuh setengah dari pipi sebelah kiri. Bekasnya terlihat basah meski sudah ada sejak lama. Bisa jadi, sebelum aku lahir pun sudah ada. Ayah itu menyeramkan, tapi, ibu tetap suka dan malah memilihnya. Aku heran saja, kok bisa?

Ayah itu seperti monster, hobinya marah dan minum alkohol saat kesal. Kalau bicara senang sekali pakai nada super tinggi, aku sering kaget mendengarnya. Jantung di dalam dada jadi loncat-loncat tidak karuan, bikin berkeringat dan kadang sakit di waktu yang sama. Ibu juga sekarang sering menangis, ada banyak warna ditubuhnya. Sudah seperti buku gambar A3 punyaku yang diwarnai crayon warna warni. Kadang ada warna ungu seperti lavender, tidak jarang beberapa diantaranya seperti warna langit ketika subuh menjelang pagi. Biru. Ada juga yang warnanya hijau agak kekuningan seperti warna daun pisang muda. Baru aku tahu kemarin, kelompok warna itu diberi nama lebam.

Akhir-akhir ini kulit ibu tidak hanya diberi warna crayon, mungkin ayah melukis pakai cat air di sudut bibir milik wanita itu. Karena saat aku pulang sekolah, ada cat air warna merah yang mengalir panjang di sana. Ayah itu bodoh, dia pasti mencampur terlalu banyak air pada cat nya. Tapi bau yang menempel di sudut bibir ibu amis, tidak seperti bau biasanya. Malah tercium juga bau besi yang berkarat seperti pagar di depan.

Lalu saat di kelas aku tidak sengaja menabrak meja ketika sedang berlari. Terjerembab, bagian pinggang terkena ujung meja yang sikunya tajam sedangkan lutut membentur lantai dengan keras. Ringisan keluar, rasanya terlalu sakit sampai beberapa saat aku mati rasa. Area yang terkena benda tumpul (kata bu guru, benda yang tidak bisa memotong seperti pisau namanya tumpul) kebas sekali, terasa bertambah tebal beberapa senti.

"Kamu baik-baik saja?"

"Iya, hm, tidak. Maksudku baik dan tidak baik, hehe."

Itu Jimin, teman yang mejanya tepat ada di sampingku. Anak baik yang mau bertukar tempat duduk denganku, aku suka duduk di dekat jendela. Dia juga sama. Tapi, dia bilang kalau aku suka tempatnya dia tidak masalah untuk pindah. Sejak saat itu kami mulai berteman. Aku tidak pernah bercerita tentang ayah padanya. Karena hanya aku yang boleh tahu, dan ibu. Ayah itu istimewa, dan orang-orang belum tentu suka melihatnya.

Aku tidak mau ditinggalkan oleh ayah, seperti Taehyung dulu.

Bu guru bilang, Kim Taehyung itu anak istimewa. Tidak bisa bergabung dengan kelas kami untuk semester selanjutnya. Aku iri, karena kata teman-temanku yang lain anak itu akan pindah ke tempat khusus yang lebih bagus. Tapi sejak kepindahannya tiga bulan lalu, tidak ada kabar apa pun tentang anak itu. Padahal aku suka senyum kotaknya, walaupun kalau bicara tidak pernah pakai suara tapi aku paham. Taehyung istimewa, makanya dia ngobrol dengan menggerakkan kesepuluh jemari tangan yang ia punya. Dia pintar, sama seperti bu guru karena mengajariku beberapa gerakan dan artinya. Dia baik sekali, tapi dia istimewa. Lalu kami berpisah.

Ayah tidak boleh begitu.

"Lain kali hati-hati, nanti pasti akan timbul memar."

"Memar?"

Jimin membantu membersihkan celana dan bajuku dari debu, setelah tadi dia mengulurkan tangan dan menarikku berdiri.

"Iya, memar." Jimin mengangguk. "Yang kalau ditekan akan terasa sakit."

"Lalu, bagaimana kita bisa tahu kalau itu memar?"

"Warnanya berbeda dengan warna kulit disekitarnya. Biasanya sih, jadi timbul warna ungu atau merah."

"Seperti punya ibu, ya?"

Jimin menatapku lama. Dia bingung sampai matanya berkedip pelan. Kalau dihitung mungkin sudah masuk kedipan ke-empat. Lutut yang tadi kena ubin terasa sakit bukan main, jalanku jadi pincang. Saat kami duduk di bangku masing-masing, aku mulai menjelaskan. Walaupun Jimin tidak minta, aku tahu kalau dia penasaran. Orang dewasa disekitarku sering bilang "mereka bisa mati penasaran" jadi aku tidak mau Jimin satu-satunya temanku nanti mati karena itu.

Seperti nenek dan kakek yang dikremasi, lalu abunya ditaburkan di akar pohon. Aku tidak mau.

"Warnanya seperti lavender, ungu, tapi lebih gelap sedikit. Ibu punya banyak, tapi dia bilang itu tidak sakit. Namanya lebam bukan memar."

Jimin manggut-manggut. "Oh, begitu, ya. Aku baru tahu, jadi kalau lebam itu tidak sakit."

Aku mengangguk kuat-kuat. Tidak lama. Karena merasa diperhatikan terus. "Jangan melihatku begitu. Aku tidak suka."

Jimin tertawa, keras sekali. Sampai-sampai aku tidak mengerti, hal lucu apa yang dia lihat. "Maaf, tapi aku tidak memperhatikanmu. Lihat wanita di seberang sana tidak?" Telunjuknya mengarah ke luar jendela. "Mirip denganmu, ya. Ibumu bukan?"

Aku baru ingat kata-kata Jimin.

Di dalam cermin ada bayanganku, biasanya aku hanya melihat sekilas. Namun, kali ini aku berdiri cukup lama. Mata bulat besar, jernih, seperti rusa. Bibir berwarna merah muda, bagian bawahnya lebih tebal. Kulit putih bersih, dan rona merah di pipi. Kemudian kupandangi foto yang sedari tadi kugenggam. Selanjutnya tatapku terus berganti, dari foto ke kaca dan sebaliknya.

Benar, aku mirip ibu.

Aku indah.

Aku dan ibu sama-sama indah.

Ayah benci keindahan, segala bentuk keindahan. Aku menunduk, mengangkat lengan baju sampai siku. Ada warna lavender dan daun pisang yang masih muda. Sama seperti punya ibu dulu. Aku tekan dengan telunjuk beberapa kali, sampai suara ringisan mengudara.

"Lebam dan memar ternyata sama-sama sakit saat ditekan, Jimin. Tidak berbeda."

-fin.

Ayah, warna, dan keindahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang