Secawan Empedu Untuk Ibu

0 0 0
                                    

"Sudah Ma, jangan nangis lagi. Kami akan selalu dukung Mama." Gadis kurus berhijab motif floral itu mengelus pipiku lembut. Putri sulungku yang kini akan segera melepas masa lajangnya.

Batinku kian meracau, mengapa Allah menyapa kami dengan teguran pahit saat ini. Saat di mana seharusnya kunikmati masa tua dengan damai di samping suami dan anak-anakku.

"Kamu tahu, Ra. Mama tak pernah diperlakukan seperti ini, Mama selalu berusaha menjadi istri yang baik buat ayahmu." Butir bening kembali meluruh menelusuri pipiku yang makin menua.

Keping-keping bayang masa lalu kian bergulir di mataku. Masa yang indah saat kuawali petualangan menaklukkan kerasnya samudera kehidupan bersama Zaini suamiku.

***
Saat itu usiaku baru 18 tahun. Saat seorang pemuda bertubuh tegap dengan cambang legam yang begitu manis menatapku dari kejauhan. Dia hanya berani menitipkan sepucuk surat dengan bait-bait puisi indahnya. Aku tersenyum malu-malu.

Ada keseriusan dari kata yang dia torehkan dalam kertas berwarna merah muda itu. Kami terhalang tembok pesantren, tapi cinta selalu punya jalan untuk bersatu.

"Aku setuju, jika kalian menikah." Suara berat Pak Kiyai membuatku tergagap. Lidahku kelu, Zaini dengan haru mencium punggung tangan guru kami.

Sebulan berlalu ....
Kini kami resmi menikah dalam resepsi sederhana. Hanya saja sedikit ganjalan masih membayangi benakku.

Ayah ingin kami menetap di kampungnya. Aku adalah anak sulung, mereka seakan tak rela melepasku jauh dari penglihatannya.

Sayang, Zaini tetap dengan pendiriannya memboyongku pergi.

"Anisa, kami tak akan menghalangimu, tapi ingat jika suatu saat kamu mengalami kesulitan, kami akan membawamu kembali." Pesan Ayah selalu terngiang jelas. Sepertinya dia tak rela melepasku jauh.

***
Keceriaan dalam biduk rumah tanggaku bertambah setelah lahir si sulung, Rahima. Mungkin dia pembawa secercah harapan dalam kemelut yang kuhadapi dengan ibu mertua.

Beliau tak terlalu merestui kami, karena sebenarnya mereka telah memiliki calon untuk Zaini, anak dari sahabatnya. Seorang akuntan terkenal di kota itu.

Beruntung aku memiliki suami yang penyayang, dengan dukungannya kami bisa melewati setiap ujian dengan ikhlas.

"Yakinlah, Allah akan menolong hamba-Nya yang ditimpa kesulitan." Kata-kata penyejuk itu yang selalu menguatkanku. Bahkan di kala ekonomi kami pas-pasan.

Zaini hanyalah seorang pegawai di sebuah kantor pos, aku berjuang menambah pendapatan keluarga dengan menjahit, salah satu keahlianku sewaktu di SMA. Paman mengajariku menjahit di sebuah kursus.

Perlahan ekonomi kami membaik, rumah yang kami tempati sebagai bagian warisan dari mertua telah kami renovasi.

Kebahagiaan kami kian bertambah setelah aku melahirkan putri kedua. Putri cantik nan mungil itu kuberi nama Maisyara. Sebenarnya suamiku mengidam-idamkan kehadiran jagoan kecil dalam rumah kami, tapi Allah menghiasi kehidupanku dengan lahirnya bidadari-bidadari cantik.

***
"Mas, siapa yang menelpon malam-malam?"

"Ah, biasa teman satu kerjaan, Ma," jawabnya sedikit gugup.

Sudah seminggu ini Mas Zaini pulang agak larut. Katanya lembur dengan administrasi kantor.

Tak lama dia kembali terlelap. Lalu kudengar bunyi pesan masuk. Penasaran kubuka pesan di tengah malam itu.

"Makasih, Sayang, hadiahnya bagus banget." Begitulah bunyi pesan dari nomor yang tak dikenal itu.

Seketika kantukku hilang, ingin sekali kubangunkan tubuh yang begitu lelah meringkuk berbalut selimut.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 14, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Judul standar - Tulis judul sendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang