Ibu membangunkanku tepat di saat adzan subuh berkumandang. Suara muadzin itu bertalu dan menggema-gema menyasar telinga siapa saja. Aku tak langsung beranjak dari tempat tidur, menunggu muadzin menuntaskan adzannya dulu, lumayan: 3 menit perpanjangan waktu. Begitu selesai, aku menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu, ku lewati kamar Ibu, Bapak sedang mengimami sholat Subuh itu.
Selesai aku sholat subuh secara munfarid, tanpa sadar aku tertidur lagi. Dan pada saat itu, Ibu membangunkanku lagi, kali ini agak tegas, seperti komandan membangunkan prajuritnya saat markas diserang musuh. Aku terperanjat, dan saat itu aku baru ingat: hari ini aku akan disunat!
Buru-buru aku mandi dan keramas. Kata Ibu, aku harus dalam keadaan suci, mandi besar dan wudhu, sebelum berangkat ke tempat khitanan massal itu. Sarapan pagi ini juga Ibu buat lebih istimewa, menunya pegetarian, tak ada daging secuilpun. Yang tersedia hanyalah sayur mayur, tempe, tahu, tanpa sambal! Kata Ibu, sambal bisa membuat luka potong tak kunjung kering. Demi mendengar itu, aku menelan ludah, karena sadar akulah yang akan dipotong.
Tak kulihat Bapak ikut bergabung makan bersama aku dan Ibu, ku coba tengok di kamarnya, Bapak masih duduk bersila di atas sajadah. Padahal matahari sudah mulai mengintip-intip dari ufuk timur.
"Bapak tidak ikut makan, Bu?", tanyaku sambil menyentong nasi yang masih beruap-uap.
"Bapak puasa hari ini, buat tirakati khitananmu. Sekarang Bapak lagi berdzikir. 9999 istighfar ingin Bapak lafalkan sebelum mengantarmu. Katanya biar kau tak kebagian mantri malpraktik, dan agar setelah disunat kau bisa menjadi anak yang taat orangtua dan agama"
Ku ambil sepotong tempe sambil melamun mendengar ucapan Ibu. Bapak adalah seorang bapak yang tak banyak bicara. Tapi aku mengerti betul bahwa Bapak benar-benar mencintai aku dan Ibu. Ibu sering menceritakan isi hati Bapak tentang ku, yang tak pernah diceritakan oleh Bapak langsung kepadaku. Dan Ibu adalah perantaranya, atau kalau boleh pinjam kata-kata pejabat, Ibu adalah Humas Bapak kepadaku.
Aku dan Ibu selesai sarapan, Ibu mengenakan pakaian yang begitu menawan. Jilbab kuning yang hanya diselempangkan, berjarik, membawa tas yang berisi kipas tangan, minyak kayu putuh, koyo, balsem, kantong plastik, botol minum berisi air, tahu dan tempe sisa sarapan tadi, karet gelang, KTP Bapak, Kartu KK, Akta Kelahiranku, uang kertas, uang receh, plastik untuk membungkus uang kertas dan uang receh, gincu, bedak, sapu tangan, dan Juzz Amma. Ibu membawa Juzz Amma itu untuk dibacakan padaku saat proses pemotongan nanti. Kata Ibu biar gunting mantri tidak disenggol jin saat memenggalku, atau cairan bius dalam jarum suntik itu tidak disabotase sebangsa tuyul.
Aku sendiri mengenakan baju muslim baru yang Bapak belikan tadi malam sepulang kerja, pakai peci, dan pakai sarung yang baru juga. Dan itu semua belum seberapa, kawan. Aku juga diminta Bapak untuk mengenakan parfumnya. Ya, parfum itu, yang berbotol kecil. Parfum yang hanya dipakai Bapak saat ada acara yang penting-penting saja. Dan hari ini, karena aku akan disunat, maka dianggap sebagai acara penting. Keluarlah parfum istimewa itu dari almari, dan kusemprotkan dengan sangat berhati-hati. Tak ingin aku ada sedikitpun yang terbuang percuma. Dan sesuai perintah Ibu: empat semprotan saja, jangan banyak-banyak.
Aku dan Ibu sudah siap, kami duduk di kursi depan. Menunggu Bapak menyelesaikan dzikirnya. Beberapa bentar kemudian, Bapak keluar rumah juga. Tak ada yang istimewa dari pakaian Bapak, seperti yang ia kenakan saat bekerja. Celana panjang berbahan kain, kemeja kuning tipis, sehingga kelihatan singlet yang Bapak gunakan. Berpeci hitam, dan bersandal jepit merk swallow. Sandal jepit Bapak yang sebelah kanan terpaksa harus diberi kawat, karena kait depannya yang seharusnya mengait itu, sudah minggat jauh-jauh hari yang lalu. Dan, karena hari ini adalah hari yang istimewa, Bapak pakai parfum, tujuh semprotan, tiga lebih banyak daripada aku. Dalam budaya jawa, tujuh atau pitu memiliki makna yang baik. Artinya adalah pitulungan atau pertolongan, pitutur atau nasehat, dan masih ada beberapa arti lainnya. Aku lupa, Ibu yang memberi tahuku dulu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bapak Ku yang Pendiam
Short StorySebuah cinta dalam diam seorang Bapak kepada anak dan Istrinya. Sebuah cinta yang tak banyak bicara, dan beigitu....suci.