Merasa kehilangan setelah orang itu pergi
Dan kembali dengan rasa yang berbeda
Seolah menamparku dari kenyataan
Percuma untukku beristirahat panjang
Sementara pedang tajam seolah merobek relung hatiku
Udara dingin menerpa lembut wajahku
Pikiranku tak bisa tenang
Semua permasalahan itu seolah menari - nari dalam bayanganku
Tidak tahu langkah kakiku akan membawa kemana
Aku tak tahu harus kemana
Aku tak tahu harus bagaimana dan melakukan apa
Saat seluruh perhatianku hanya tertuju kepadanya
Mataku masih setia menatap guguran daun yang basah dibawah hujan
Jemariku mengatuk pelan pada bingkai jendela
Masih jelas terpatri tanpa samar bagaimana wajah sosoknya
Apa lagi dengan binaran kebahagiaan
Yang terpancar begitu nampak pada wajah tampannya
Aku menghela napas begitu dalam
Memejamkan mata sementara pikiranku berusaha mencari ketenangan
Hembusan angin malam menyapa lembut wajahku
Sekali lagi senyum itu melengkung sempurna dengan cara yang sederhana
Dentuman keras terasa menghantam jantung ku
Refleks aku meraba dada kiriku
Meremas begitu kuat disana seakan hal itu bisa membalut perih
Yang melanda tanpa permisi pada diriku
Mataku tercenung diam
Menyimpan begitu banyak renungan penuh kepahitan
Segala hal berputar memenuhi otakku
Menguras tenaga secara fisik maupun hatiku
Terlalu banyak keterkejutan menghampiri Dalam waktu yang hampir bersamaan
Lebih dari apapun, ini terasa rumit bagiku
Aku hanya bisa menatapnya diam dalam posisi yang terpaku
Ada luka dari pendaran mata dan aku berusaha tak menyadarinya
Hanya saja, aku tak ingin terlalu larut dalam luka yang tercipta
Tidak, selama aku juga masih memiliki luka yang juga belum kering sedikitpun
Lagi . . .
Luka itu semakin bertambah perih
Terbalut kepedihan tanpa balutan kedamaian
Hanya sakit, sakit dan sakit yang bisa kurasakan
Tertumbuk semakin dalam, atau mungkin kini luka itu tak berdasar?
Entahlah, yang aku tahu, mereka benar
Aku terlalu idiot untuk mengerti
Aku memalingkan wajahku
Enggan untuk menatap dia yang memberikan perasaan bersalah
Dan luka diwaktu yang bersamaan
Bulir air mata mulai menggenang dalam sudut mataku
Dan menahan air tangis, adalah satu kelemahan terfatalku
Aku memejamkan kedua mataku erat
Berharap jika kedua kelopak ini tak akan bisa terbuka lagi
Sehingga air mataku tak akan memiliki jalan untuk keluar dari tempatnya
Tapi aku salah, karena bulir bening itu tetap akan merembes bebas
Sekuat apapun aku menahannya
Aku salah, dan terlalu salah untuk menafsirkan perasaan buta yang kupendam
'Cinta membuatku terguguh dalam ketidakpedulian rasa'
Jemariku menelusuri setiap jalan air hujan
Yang mengalir turun pada kaca jendela
Mataku tercenung beku menatap alur bulir-bulir air yang tercipta
Aku kemudian mengalihkan kembali pandanganku
Menatap rintikan hujan yang masih setia membasahi setiap tempat diluar sana
Terlihat tetesan air yang jatuh menimpa daun-daun milik sebuah pohon
Terus mengalir berpencar kesegala arah
Hingga akhirnya menetes jatuh di ujung-ujung yang berbeda dari dedaunan tersebut
Aku menarik senyum pahitku
Menyesali segala sikapku
Seharusnya aku mengerti sejak awal
Seperti tetesan air hujan yang berpencar jatuh di tempat yang berbeda
Seperti itu juga yang dinamakan cinta
Sampai kapanpun aku tidak akan bisa memaksakan perasaan
Karena seperti daun tersebut
Hidup memiliki alur, memiliki jalan takdir masing-masing
Meski ia ingin jatuh tepat di ujung daun, ia tetap tidak akan bisa
Jika seandainya jalan takdirnya bukanlah disana
Kepedihan adalah satu hasrat yang memang harus ku rasakan
Tanpa ada kepedihan
Aku tidak akan pernah mengerti
Bagaimana berharganya sebuah perasaan bahagia
Ya, aku tahu
Aku tidak bisa terus seperti ini
Membelenggu diriku dalam keterpurukan
Karena hanya akan ada perih tanpa kebahagiaan jika aku terus melakukannya
YOU ARE READING
Ketenangan yang Kurindukan
RandomMemejamkan mata sementara pikiranku berusaha mencari ketenangan