Mimpi

16 2 3
                                    

Kejadian sebelumnya selalu terngiang ngiang didalam fikiranku. "Ini peraturan perusahaan, kamu gak bisa seenaknya ngubah ngubah, kamu bukan siapa siapa disini!” kata atasanku.

Kupikir menyerahkan segala mimpiku dan menerima nasib yang berjalan konstan adalah hal yang tepat dalam hidupku. Segala hal yang aku lakukan menggunakan segala inisiatifku telah di asingkan dengan peraturan yang harus ditaati. Meskipun hal yang kulakukan berdampak baik namun tidak bagi mereka yang telah benar benar terjerumus dalam kehidupan yang keras.  Mimpi ini mungkin telah tersinggung oleh rasa penyesalan dalam diriku. Dimana segala harapan yang menggantikan mimpi benar benar kehilangan kendali. Dan sekarang aku terhanyut oleh deras nya arus. 

Ketika aku benar benar berpaling, kenyataan seperti ini lah yang benar benar membuatku malu. Dengan mimpi.

Sore hari menjelang malam. Setelah mengundurkan diri dari pekerjaanku, aku benar benar bingung dengan apa yang akan terjadi setelahnya. Aku benar benar tidak menyiapkan diri untuk hal seperti ini. Langkah demi langkah terlewati, memikirkan apa yang akan kuucapkan kepada ibu dirumah. Aku terus merasa gelisah dengan bukti mematikan dan menyalakan handphone yang berada ditangan kananku. Saat ini aku berada di sebuah taman yang tempatnya tidak terlalu jauh dari tempat kerjaku itu. aku segera menuju bangku taman dan duduk disela sela kegelisahanku.

 *telpon berbunyi dari sahabatku Ridwan     “Lagi sibuk gak lu?” ucapnya dari balik telpon disana. 

“hmm, gua keluar dari kerjaan” ucapku sambil menjenggut jenggut dengkulku.
  
   “Dimana sekarang lu?” Tanyanya tanpa membalas ucapanku sebelumnya. 

“Ditaman dekat tempat kerja gua….” sebelum menyelesaikan ucapanku, telpon terputus. 

Sekarang waktu menunjukan pukul delapan malam, sepuluh menit berlalu aku masih sangat gelisah dengan apa yang akan aku lakukan esok hari. Mencari pekerjaan baru? Terlalu memuakkan. Tapi bagaimana yang aku ucapkan kepada ibu. Tiba tiba suara ridwan berada tepat dibelakang tempat duduk taman yang sedang aku duduki. 

   “Gimana? baru sadar kan lu, enggak ada yang benar benar baik tentang kehidupan. Kehidupan itu terlalu kejam!” suaranya mengagetkanku tanpa sapa, sembari duduk di sebelahku. 

“hmm, mungkin emang takdir gua yang kurang baik” balasku dengan tangan yang masih menjenggut jenggut dengkul sedari tadi. 

   “Bukan takdir permasalahannya” ridwan menyanggah.

“Mimpi ya?” tanganku berhenti menjenggut jenggut dengkul lalu mataku menghadap keatas melihat pohon pohon rindang, entah apa yang ingin aku lihat aku rasa aku hanya mengalihkan pandanganku darinya. “Mimpi yang dulu gue ucapin itu,  cuman akal gua doang supaya orang lain menganggap gua hebat” Setelah mendengar ucapanku tadi, ridwan hanya memandangiku. Aku rasa. Sebenarnya aku sangat malu mengucapkan kebenaran selama ini. Beberapa menit terlewati. Tidak ada kata yang terucap dari ridwan. 

“Gimana kuliah lu?” aku sengaja mengubah pembicaraan. Lagi lagi hanya tatapan ridwan yang aku rasakan. Tanpa berbicara sedikitpun. 

“Enak ya kuliah bisa bercanda ama temen, nongkrong dan mungkin jalan hidup nya lebih besar untuk sukses” sekali lagi aku mencoba mengubah pembicaraan. 

“andai aja gua dilahirin sama keluarga yang cukup, mungkin…” 

Tiba tiba pukulan datang kearah pipi kanan ku. Aku terpental dari tempatku singgah. 

   “Emang lu yang sekarang cuman seorang pecundang. Meskipun dulu lu hanya ingin terlihat hebat, tapi gua yakin lu gak sepecundang itu” Serunya setelah menonjokku. “Tapi hidup lu yang naif tentang mimpi itu membuat seakan akan takdir yang menjatuhkan lu” bahkan aku yang mengakui lebih mengenal diriku dibanding orang lain, saat ini aku benar benar tidak mengerti diriku. 

   “Meskipun yang lu ucapin ke yang lain adalah kebohongan. Lalu gimana dengan ucapan lu dengan penuh ambisi saat sedang diremehin? Apa itu juga kebohongan, gimana nanti lu ketemu sama orang orang yang dulu ngeremehin lu” suaranya ridwan yang tinggi cukup membuat terngiang ngiang di kepalaku.

Aku terdiam terenyah di bawah tempat duduk, melihat kemarahan ridwan yang sekarang ini tidak terlihat dibuat buat. Terlintas ucapanku saat bersamanya dulu. “Gua emang gak punya apa apa, tapi satu, mimpi adalah tentang harga diri”. 

Hanya perkataan orang tanpa mimpi yang benar benar bisa membuat gua terus maju”. 

Ini mimpi gua” dengan lantang. “Jika nanti gua gagal, itu gak akan berpengaruh sama gua. Karena menyerah hanya untuk seorang pecundang!”. Tiba tiba air mataku keluar sedikit demi sedikit. Aku sakit. Bukan karena pukulan yang barusan, tapi ingatan itu datang disaat hal buruk sedang terjadi. Tapi disisi lain aku berterima kasih dengannya. Aku sadar. 

Aku bangun dari posisiku terjatuh, dan berpaling dari ridwan. 

   “Mau kemana?” Tanya ridwan dengan lantang. “Renungin, jangan kaya orang bego”. 

“gua pengen sendiri dulu” jawabku lantas pergi meninggalkannya di taman. Sebenarnya aku merasa malu dengan keadaanku yang sekarang. Karena hanya dia yang benar benar tahu keinginanku dulu. Saat di perjalanan menuju tempat tinggalku, aku semakin sadar dengan apa yang menjadi tujuan hidupku. Dan kini perjalanan hidup yang sebelumnya, benar benar membuatku sadar arti sebuah mimpi, disaat mereka yang benar benar mempunyai mimpi dan berjuang, mengapa hanya aku yang menyerah, ketika mereka benar benar menggantungkan tinggi mimpinya, mengapa hanya aku yang menanggalkannya, cuman karena takut oleh kegagalan, takut ketidakpastian, hasil tidak ada yang bisa memperkirakan, tapi hanya diri sendiri yang dapat memberi jawaban. Dan sekarang, hidup benar benar mulai berpihak kepadaku.

Sesampainya dirumah pukul setengah sebelas malam, aku berniat pergi meninggalkan semuanya. Mencari hal hal yang baru. Meninggalkan yang lama. Dan ingin menjalankan kehidupan seperti yang aku inginkan, aku tersadar dengan ucapan ridwan tadi saat di taman.

Setelah bersiap diri untuk meninggalkan rumah, aku menyiapkan pesan untuk ibu. Agar ibuku tidak merasa khawatir. Setelah itu aku mengabari ridwan temanku satu satunya. 

Wan, sekarang gua tau langkah selanjutnya, gua terima kasih atas segala bantuan lu. Hanya dari sini gua bisa sampein ke lu, sampai jumpa lagi” 

*Esok harinya ibu rifky membaca sepucuk surat.

Bu, iki dipecat, tapi itu menyadarkan iki. Mimpi adalah harga mati seorang manusia. Dan mulai sekarang, Iki pergi, maaf.. iki enggak bisa langsung mengucapkan kata perpisahan, iki malu, ibu pasti mengerti” setelah membaca, tetesan demi tetesan terjatuh membasahi sepucuk surat itu.

JALUR *TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang