Lekuk

40 7 2
                                    

•Lekuk•

"Besar nanti, mau jadi apa kamu Qi?"

Bocah perempuan yang tingginya lebih rendah beberapa sentimeter dari lawan bicaranya itu berdiri dengan semangat.

"Aku mau jadi dokter! Aku mau membantu keluargaku, keluargamu, saudaraku, saudaramu, teman-temanku, teman-temanmu, dan semua orang yang aku kenal agar bisa kembali sehat," ujar bocah itu, Qila namanya.

"Jadi kamu mau membantu orang yang kamu kenal saja?"

Sekali lagi bocah perempuan itu menggeleng semangat, "Tidak kok. Aku akan membantu orang-orang yang aku kenal dan orang-orang yang kenal aku!"

Tawa Isa pecah, "Jadi maksud kamu, nanti kamu bakal jadi dokter terkenal ya Qi?"

"Iya, pasti!" Qila tersenyum sumringah, membayangkan masa depannya yang mungkin cerah. Lalu ia menatap Isa kembali.

"Kamu Sa? Mau jadi apa?"

"Kalau aku mau jadi bajak laut, biar bisa tangkap ikan banyak-banyak. Jadi Bapakku tak usah bekerja terlalu lelah."

Qila mengerutkan dahi.

"Memangnya, bajak laut kerjanya menangkap ikan ya Sa? Kukira mencari harta karun."

Isa meringis. "Iya, dua-duanya deh."

"Nanti, kalau Isa sakit, tak usah takut. Ada aku. Aku akan langsung mengobati kamu begitu kamu tiba di bibir pantai, tepat di sini."

"Jadi kamu mau menunggu aku sampai aku kembali?"

Qila mengangguk ceria.

"Terima kasih Qi."

Keduanya memandang ke arah cerahnya sinar matahari yang hampir hilang ditelan lautan.

Diam-diam, Isa segera mematikan perekam suara milik Bapaknya yang dinyalakannya sedari tadi. Ia meminjamnya, lebih tepatnya mengambilnya untuk sementara. Isa berjanji akan mengembalikannya saat ia sudah kembali lagi ke tanah kelahirannya itu.

•Lekuk•

... Ada aku. Aku akan --pip--pip-- mengobati --pip--pip-- kamu tiba di bibir pantai, --pip--pip-- di sini ...

Tak pernah bosan Isa terduduk di pinggir lautan itu sambil memegang kotak hitam usang, yang sudah layak buang. Untungnya masih bisa mengeluarkan suara itu, suara kenangan.

"Katanya kamu mau menunggu aku Qi. Tapi kok tak datang-datang?

"Aku banyak luka Qi. Di lenganku ini seminggu lalu tertusuk paku kecil. Lalu baru kemarin kakiku terkena duri ikan buntal.

"Tapi jangan khawatir, hari ini aku sebenarnya membawakan harta karun: berlian merah. Tapi sayang, berlian itu tiba-tiba hancur, tepat tadi pagi. Saat aku memeluk-cium kedua orangtuaku, lalu mereka membisikkan sesuatu sambil menepuk bahuku untuk memberiku topangan.

'Ia sudah pergi. Gadis manis itu, yang selalu bersama kamu di tepi pantai. Ibu sebenarnya senang dengannya. Namun kita tak satu kasta.'
Begitu ujar ibuku."

"Dan kau tahu? Berlian merah dalam dadaku ini hancur berkeping-keping. Berlian yang sudah lama ingin aku beri padamu, retak sudah."

"Maaf Qi. Aku terlalu menganggap sepele dirimu. Selamat berjuang di negeri orang."

"Tenang saja. Dari kotak hitam usang ini dan otak manusia laut ini, aku masih bisa kok mendengar suaramu, mengingat setiap lekuk di wajahmu, dan janjimu yang tak kuacuhkan di masa lalu: menjadi dokter tenar."

"Kamu berhasil membuatku sadar atas kesalahanku dan menyesal seumur hidupku."

•Lekuk•

LekukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang