L'Étoile

2.6K 92 11
                                    

Saat Hinata masih kecil, satu ingatan paling berkesan baginya adalah tentang seorang anak berambut merah darah yang tiba-tiba mengambil gambarnya dengan kamera mainan.

“Kamu cantik. Aku jadi ingin memajang wajahmu di pigura samping tempat tidurku.”

Memori yang sangat sederhana. Namun sanggup merubah segalanya.

Termasuk masa depan si gadis bermata bulan.

.

…*…

.

Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Saya tidak menerima keuntungan berupa material apapun dari pembuatan fanfiction ini.

Warning: OOC, Modern!AU, Typo(s), etc

Kesalahan data sangat mungkin terjadi akibat kurangnya materi yang membahas setting dan detail mengenai kehidupan seorang model. Nama brand hanya imajinasi semata, kalau ada kesamaan dengan brand dunia nyata, hanya kebetulan semata.

.

…*…

.

 “Parisje  suis  à  la  maison!”(1)

Hinata tersenyum melihat tingkah Ino yang sedikit berlebihan. Namun ia bisa memakluminya.Sudah hampir tiga tahun sejak terakhir kali sang gadis pirang menginjakkan kaki di tanah kelahirannya. Tentunya ada perasaan rindu yang amat sangat bersarang pada putri bungsu keluarga Yamanaka itu.

“Hei, Ino. Kau yang mengajak kami datang ke Paris tiga hari lebih cepat dibandingkan jadwal pemotretan. Harusnya kau sudah menyiapkan segala yang kita perlukan bukan?” Sakura berkata sambil merapikan kacamata hitamnya, menghalau cahaya lampu bandara yang menyakiti mata mengantuknya.

“Oh, Forehead. Kau tak perlu mengkhawatirkan apapun selama di sini.” Ino merangkul pundak sahabatnya sambil tersenyum puas. “Aku sudah merancang segalanya sesempurna mungkin sebelum pemotretan.”

“Baguslah kalau begitu.”

Tenten menguap, sebelah tangannya ia gunakan untuk merapikan cepol rambutnya yang kusut akibat dibawa tidur selama perjalanan Jepang-Perancis. “Jadi ini yang namanya Bandara Charles de Gaulle? Besar juga ya?”

“Semua penerbangan internasional selalu mendarat di sini,” Ino yang entah sejak kapan merangkap sebagai guide tour bagi teman-temannya memberi penjelasan. Sebuah senyum lebar tersungging di wajahnya. “Hei, kalian semua, jangan bermalas-malasan. Kita masih harus menuju pusat kota sebelum malam tiba.”

“Memangnya jauh?” tanya Hinata yang sejak tadi diam sambil menyeret kopernya yang entah bagaimana terasa lima kali lebih berat dibandingkan saat dia mengepak barang kemarin malam. Mungkin dia bisa menjadikan Neji, kakak sepupunya, sebagai tersangka. Pasti pemuda itu yang memasukkan berbagai perlengkapan lain ke dalam koper. Sifatnya yang terlalu over protektif pada adik sepupunya terkadang membuat Hinata kesulitan.

Ino menyeringai lebar mendengar pertanyaan sang gadis berambut indigo. Dikedipkannya mata dengan cara yang membuat punggung Hinata terasa merinding. Pasti ada yang tidak beres. “Hanya dua puluh tiga kilometer. Tidak terlalu jauh, lagipula aku sudah meminta secara khusus pada kakakku untuk menjemput. Hanya saja…”

“…tempat parkirnyalah yang jadi masalah.”

.

…*…

.

Ahirnya Hinata mengerti mengapa Ino berkata jika tempat parkir Bandara Charles de Gaulle adalah sebuah  masalah. Akhirnya Hinata mengerti alasan Ino yang biasanya tampil sempurna dengan sepatu hak setinggi sepuluh senti memilih menggantinya dengan pantofel di dalam pesawat. Dan akhirnya Hinata mengerti mengapa tak pernah ada satu filmpun yang menyertakan adegan mengejar pesawat di bandara internasional Paris ini.

PrimadonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang