Ma Perle

1.6K 61 2
                                    

“Datanglah besok pagi ke taman ini. Aku akan memberikan hasil fotonya padamu.”

Sayangnya esok harinya Hinata sakit dan tak dapat bangun dari ranjang. Dan saat dia datang lagi ke taman itu, anak berambut merah itu tak pernah lagi terlihat.

Hingga akhirnya Hinata bosan menunggunya dan memutuskan untuk menyerah. Meski hatinya tak semudah itu melakukannya.

.

…*…

.

Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Saya tidak menerima keuntungan berupa material apapun dari pembuatan fanfiction ini.

Warning: OOC, Modern!AU, Typo(s), etc

Kesalahan data sangat mungkin terjadi akibat kurangnya materi yang membahas setting dan detail mengenai kehidupan seorang model. Nama brand hanya imajinasi semata, kalau ada kesamaan dengan brand dunia nyata, hanya kebetulan semata.

.

…*…

.

Baru dering kedua yang sampai di telinga Hinata saat sebuah suara akrab menyapanya.

“Halo?”

Niisan, ini aku.”

“Hinata?” Terdengar nada lega dari suara pemuda yang mengangkat telepon itu. “Mengapa kau tak menelepon kemarin? Aku khawatir terjadi apa-apa denganmu.”

Sebuah senyum lembut tersungging di wajah sang gadis. Sudah dia perkirakan jika kakak sepupunya akan mengajukan pertanyaan tersebut begitu mengangkat telepon. Apa boleh buat, Hinata melupakan janjinya menelepon sang kakak sepupu selepas tiba di Perancis. Baru pagi ini dia teringat.

“Neji-niisan tenang saja. Aku hanya terlalu lelah kemarin hingga lupa menelepon,” setengah kebohongan dia lemparkan demi kebaikan. Memangnya apa yang akan dia katakan? Lupa menelepon karena terlalu berdebar-debar bertemu dengan seorang pemuda? Siap-siap diintrogasi saja jika nekat menjawab dengan jujur.

“Syukurlah kalau begitu.” Suara deru napas yang teratur mengisi kekosongan sejenak di antara mereka. “Kau menginap di mana selama di Perancis, Hinata?”

“Sampai dua hari ke depan, aku masih akan menginap di Hotel du Pantheon. Setelah mulai pemotretan, tempat menginap kami akan disiapkan oleh pihak Sahara.” Hinata merapikan tempat tidurnya, handphone dikepitnya di antara leher dan kepala. “Kau tidak perlu mengkhawatirkan itu, Niisan. Ino sudah mempersiapkannya dengan matang.”

“Kau tidak pergi ke tempat yang aneh-aneh kan? Gay bar atau tempat prostitusi misalnya.”

Hinata tersedak mendengarnya. “Mengapa Niisan menanyakan hal seperti itu? Tentu saja aku tak melakukannya.”

“Hanya bertanya saja.” Neji menghela napas panjang. “Harusnya aku ikut saja ke Paris. Kau tahu kan, dunia model tidak sebersih kelihatannya. Aku tak mau kalau kau sampai terjebak di bagian gelapnya, Hinata.”

Gadis itu menghela napas panjang. “Tentu saja, Niisan. Kau sudah mengatakannya berulang kali padaku. Aku sudah dewasa, aku bisa menjaga diriku sendiri.”

“Tapi tetap saja…” Neji terdiam sejenak, tampaknya tengah memikirkan sesuatu. Dan Hinata yakin, itu bukan hal yang baik baginya. “Kurasa seharusnya aku tetap menentang pilihanmu menjadi model.”

“Hanya karena Niisan adalah kakak sepupuku, itu tak berarti Niisan dapat memutuskan apa yang boleh dan tidak boleh aku lakukan!” Tanpa sadar Hinata menaikkan nada suaranya. Otomatis dia menutup mulutnya dengan panik. “Maafkan aku, Neji-niisan. Aku tak bermaksud untuk menentangmu, hanya saja aku… kurasa aku sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihanku sendiri…”

PrimadonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang