Aku tersadar dari lamunanku ketika melihat rintik hujan yang kian deras. Sial. Hujan. Dan aku bahkan tidak membawa payung. Aku mulai merutuki diri sendiri yang lupa membawa benda penyelamat itu.Salah satu keuntungan boleh membawa ponsel ke sekolah—aku bergegas menekan nomor orang yang ada dirumah—mama, mungkin?
"Halo, ma? Bisa jemput aku? Disini hujan dan sebentar lagi aku akan turun dari bis,"
"Mama lagi pergi. Tunggu saja disitu sampai hujan reda, baru pulang sendiri. Oke?"
"Tapi, ma—"
Tut.
Bagus. Mama mematikan sambungannya secara sepihak. Positive thinking, mungkin dia sedang meeting. Terpaksalah aku harus menunggu hujan reda. Sendirian.
Dewi Fortuna, aku tahu kau membenciku, tapi kumohon, beri aku setitik keberuntungan hari ini.
Refleks aku menutup mataku karena–kesilauan? Aku menatap ke depan dan senyumku langsung merekah. Hujan sedikit reda dan hanya menyisakan gerimis. Kalau begitu aku tak perlu menunggu lama.
Sesampainya aku di halte. Aku memutuskan untuk langsung berjalan pulang. Suasana setelah hujan memang yang terbaik—
Sampai akhirnya hujan turun lagi dengan derasnya. Aku berlari menuju shelter terdekat lalu duduk, kemudian menundukkan kepala.
Why Fortuna, why?
"Kan udah dibilangin suruh tunggu sampai hujannya selesai, malah nekat," kata seseorang padaku. Merusak suasana yang sudah buruk saja.
"Sok tahu. Kan tadi tinggal gerim—eh?" Kalimatku terpotong melihat siapa lelaki yang membawa payung itu.
"Mark?"
"Hai, ayo," katanya lalu menarik lenganku. Aku menarik lenganku balik sambil menatapnya bingung. "Kemana?" Tanyaku.
"Udahlah, ayo ikut," katanya lalu tersenyum.Kami menembus hujan sambil bernaung di bawah payung bening milik Mark. Dia merangkul bahuku dan mengusapnya pelan, berharap aku tidak kedinginan.
"Kok tahu aku ada disitu?"
"Mmm, entahlah, insting?" Jawabnya sambil nyengir kuda. Memang temanku sedari kecil ini tidak pernah hilang tengilnya. Aku mencubit lengannya pelan, lalu kembali berjalan.Kami berjalan menyusuri trotoar. Membiarkan kupu-kupu dalam dada beterbangan bebas, membiarkan pula perasaan nyaman ini—dalam diam.
Tak ada satupun dari kami yang berani menyatakannya. Bukan karena gengsi, melainkan takut jika rasa ini hanya bertepuk sebelah tangan. Terlebih lagi, kami—aku, tidak ingin pertemanan kami rusak hanya karena salah satunya memendam perasaan berlebih.
"Mark, rumahku bukan lewat sini, kamu lupa?"
"Hah? Enggak kok. Ikut aja dulu. I wanna show you something," katanya sambil tersenyum.Aku terus berjalan, rangkulan tangan Mark kini berganti menjadi tangannya yang menggenggam tanganku. Hangat, dan lembut. Hingga akhirnya kami sampai di sebuah bukit. Tidak terlalu tinggi, tapi pemandangannya benar-benar indah.
"Suka?" Tanyanya.
"Rasa suka bahkan gak cukup, Mark," aku tersyenyum.
"Syukurlah, kirain engga," dia lalu tertawa pelan, kemudian menatapkuNetra kami bertemu. Sejenak hening, saling menatap. Bukan tatapan yang biasanya, tatapan ini hangat—seolah tersirat sesuatu.
"Ilsa," panggilnya.
"Indah bukan?" Aku lalu menatap kearah langit. Benar juga. Pelangi menghiasi langit kelabu. Coraknya seolah memberi semangat pada seseorang yang hatinya sedang terpuruk, seolah tersenyum kearahku. Ditambah seberkas sinar matahari membuatnya terlihat makin berkilau.Keindahan sesaat, yang akan terkenang selamanya.
"Tentu. Jika bisa, mungkin pelangi ini sudah kusimpan di kamarku, saking indahnya,"
Mark terkekeh. "Sayangnya tidak bisa. Kamu tahu? Pelangi memang hanya sesaat, tapi kau akan selalu mengingat keindahannya. Begitu juga dengan rasa bahagia, kenangan indah bersama seseorang yang amat kau sayangi, akan tetap terkenang di relung hatimu, kan?"
Mark menarik nafas lalu mengelus puncak kepalaku.
"Ilsa, orang-orang yang kamu sayangi, mereka yang memberimu kebahagiaan, ibarat pelangi setelah hujan. People come and go, Ilsa, tapi mereka yang benar-benar mencintaimu, bukan lagi sebuah pelangi, melainkan telah menjelma menjadi mentari. Akan tetap ada kapan saja, dimanapun kamu berada, kamu akan tetap menemukan mentarimu,""Lalu, jika sang pelangi telah menjadi mentari, siapa yang akan menggantikan posisi sang pelangi?" Tanyaku padanya.
"Pelangi menjadi bukti akan janji sang mentari untuk selalu ada. Setelah hujan turun, pelangi akan tampak sebagai bukti bahwa mentari masih ada, tak kemana,"
Aku terkejut ketika Mark tiba-tiba memelukku erat. Hangat, dan nyaman. Aku balas memeluk Mark, sama hangatnya. Payung yang tadi dibawa sudah dilipat dan tergeletak. Hujan sudah berhenti. Hanya tersisa pelangi di angkasa.
"I love you, Ilsa, more than you know," katanya. Mengeratkan pelukannya padaku. "And i know, so do you,"
Aku terdiam, memeluk Mark semakin erat.
Tuhan, biarkan waktu berjalan lebih lambat, biarkan aku memeluk Mark lebih lama untuk hari ini, biarkan aku mencium aroma Mark lebih banyak hari ini, untuk kusimpan dalam memori dikala rindu menyapa."Apa, apa harus hari ini?" Tanyaku terbata. Air mata mulai membasahi pipiku. Mark mengusapnya, lalu tersenyum, "Hey, don't cry," katanya.
"Mau tahu alasanku membawamu kemari?" Tanya Mark lalu memelukku kembali.
"Aku ingin, pelangi ini menjadi saksi bisu bahwa aku akan kembali lagi—bukan, bukan—aku ingin menjadi mentari untukmu, Ilsa, tapi sang mentari harus pergi sejenak agar tetap bisa menyinari hari-hari seorang Ilsa sampai kapanpun,"
Mark lalu menyodorkanku sebuah buku, yang sepertinya ia tulis sendiri. "Dibukanya nanti dirumah, jangan sekaligus. Itu ada tanggalannya kapan harus dibuka,"
Aku membaca sampulnya lalu terkekeh pelan, buku itu berjudul Ilsa Kim's Book of Rainbow.
"Isinya tentang kenangan kita selama ini, kenangan indah seperti pelangi—iya kan? Read it so you'll know that i'm here, and always be," katanya sambil meletakkan tanganku tepat di depan dada."Thank you sososo much, Mark Lee! I love you too!" Aku memeluk Mark, lagi. Buat stok kedepannya, hehe.
"Now, that's the spirit! Jangan nangis lagi, ya?"
Aku mengangguk. Mark merangkulku, lalu berjalan pulang dengan hati tenang. Betapa aku akan sangat merindukannya nanti.Dear Fortuna, thank you very much!
————
Lanjut?
KAMU SEDANG MEMBACA
Back Home | NCT 2018
Fanfiction[bahasa] -Oneshot; pulang sekolah kali ini, bertemu siapa? ©Markmeringue, 2018