Pintu kayu berderit setelah sekian lama membuat telingaku sedikit kaget. Sinar mentari yang menelusuri gubuk ini begitu menyilaukan. Ini sudah siang, matahari sudah berada tepat di atas kepala.
Setidaknya sekitar sepuluh hari aku telah bersembunyi di sini. Sunyi. Dingin. Dan gelap. Hanya ada lampu teplok yang menemani kelamnya malamku. Itupun aku harus tetap terjaga tiap malam. Berjaga-jaga jika saja ada yang mengintai keberadaanku. Hingga ketika cahaya lembut matahari mulai muncul, di situlah kesempatanku untuk terlelap.
Langkahku semakin meragu ketika kilas balik peristiwa sepuluh hari lalu menghujaniku. Aku harus waspada terhadap apa pun, jangan lengah. Pikiranku berkecamuk, ingin menangis, tapi tak bisa. Sulit rasanya mengingat hari itu, namun aku tidak ada waktu. Aku lah kini yang harus menyelamatkan diriku sendiri.
Setelah berpikir cukup lama, aku memutuskan untuk menutup kembali pintu dan memilih memeriksa keadaan di luar terlebih dahulu lewat sela-sela yang ada.
Gubuk ini pengap, tapi aku tak ingin mengambil risiko tanpa memeriksa keadaan terlebih dahulu. Lagipula aku sudah terbiasa dengan kelembaban dan suhu di sini serta dinginnya malam yang menusuk ketika berbaring hanya beralaskan lantai.
Aku harus melewati sepuluh hari lamanya di sini hanya dengan sedikit bekal. Bekal terakhir yang ayah berikan padaku. Kini semuanya tak akan cukup jika aku terus-terusan di sini.
"Bawalah bekal ini dan pergilah sesegera mungkin, jangan pikirkan ayah,"
"Tapi, ayah-"
"PERGI! Cepat pergi nak, ini perintah ayah, ayah tak ingin ka-"
DORR!
Semua kejadian itu terputar bagai kaset film. Begitu cepat. Salam perpisahan yang begitu menyakitkan. Aku berlari membawa bekal pemberian ayah dengan tangisan mengiringi langkahku. Itu semua ketika aku masih memiliki kemampuan untuk menangis. Atau lebih tepatnya emosi yang stabil.
Ayah pernah bercerita sebelumnya tentang gubuk yang kudiami ini. Berlari ke Selatan dari peternakan ayah sepanjang seratus meter, kemudian berbelok ke Barat hingga menemukan sungai kecil dengan jembatan kayu yang mulai lapuk. Dengan mengikuti jalan setapak di daerah situ, aku menemukan jalan utama dengan gubuk ini di seberangnya.
Aku tahu sebenarnya tempat ini kurang aman. Tapi aku harus bisa memahami keadaan agar mereka tak bisa menemukanku. Gubuk kecil dengan pelataran penuh ilalang yang mengering mengingat ini musim panas. 'Mereka' sempat membuka pintu gubuk ini, tapi mungkin Tuhan tengah melihatku dan mengasihaniku, 'mereka' pun meninggalkan gubuk ini. Tetap saja aku masih merasa was-was.
Terkadang ada beberapa malam aku mendengar suara dari luar orang-orang berbincang, suara kendaraan berhenti maupun lewat. Aku takut itu rombongan 'mereka', sehingga aku memutuskan untuk terjaga setiap malam dan terlelap ketika matahari mulai menampakkan dirinya.
Ayah hanya memberiku beberapa potong roti, buah apel, dan air mineral dalam satu termos. Sebisa mungkin aku mengiritnya. Sayangnya, aku tak bisa hanya mengandalkan semua itu untuk bertahan hidup. Aku harus segera keluar. Mencari pertolongan.
Menilik keadaan di luar dan sepertinya sudah aman, aku pun memilih untuk keluar walau langkah ini sedikit berat. Hanya saja aku juga tak ingin mendekap di sini hingga menjadi tulang-belulang.
Seperti orang yang baru melihat dunia, mataku gencar ke segala arah memastikan keadaan benar-benar aman.
Jujur, aku masih bingung dengan mereka, orang-orang yang menembak ayahku.
Memangnya ayahku berbuat apa?
Setahuku semua orang selalu bersikap baik kepadanya. Apakah mereka pembunuh bayaran? Apakah ada sesuatu yang tak kuketahui?
KAMU SEDANG MEMBACA
Way Back Home
Teen Fiction[Teenfict & Minor-romance] Ketika satu hari merubah segalanya. Hidupmu yang dulunya damai dengan rangkaian memori-memori indah memenuhinya. Kini tergantikan dengan jalan yang sulit kau mengerti. Semuanya buram. Kemana aku harus pulang? Cover cr. t...