Chapter 5 - Not Your Fault

123 10 4
                                    

Dada Lily terasa sesak. Dirinya memang punya penyakit asma sejak kecil. Ia selalu berpikir bahwa asma bukan penyakit yang mematikan. Banyak orang di dunia ini yang menderita asma. Jadi, dirinya akan baik-baik saja. Selama ada inhaler di dalam tasnya, maka tidak masalah.

Lily mulai kesusahan bernapas karena asap rokok yang Justin tiupkan tepat di wajahnya membuat Lily harus menghirup asap rokok tersebut secara tiba-tiba. Lily berhenti melangkah. Dengan napas yang mulai terengah, ia merogoh tasnya dan mencari barang yang ia butuhkan saat ini.

Crap.

Lily tidak dapat menemukan inhalernya. Ia mulai panik sementara rasa sesak di dadanya juga tidak membantu.

Mendengar suara napas Lily yang tidak terhela dengan benar, Justin memindahkan pandangannya kepada Lily. "Fatty, you okay?"

Lily tidak menjawab, masih dengan napas terengah ia mencoba mencari tabung oksigen di dalam tasnya, dan berharap ia bisa menemukan barang tersebut.

Justin mematikan rokoknya dan menginjak puntungnya. Ia menaikkan dagu Lily agar perempuan itu dapat melihatnya.

Dengan pandangan yang cukup kabur, ia menatap Justin. Wajahnya pucat, bibirnya bergetar, tubuhnya dingin, dan bulir-bulir keringat mulai menuruni dahinya.

"You have an asthma?" Tanya Justin. Lily hanga mengangguk, ia merasa sekujur badannya lemas sekali. "You don't have your inhaler with you?"

Fuck, Justin. Yang benar saja. Pertanyaan bodoh. Jika ia memiliki tabung oksigennya, dia sudah menggunakan itu sejak tadi. Justin mengumpat dirinya dalam hati.

Justin memandangi Lily dengan penuh rasa khawatir. Dia sadar bahwa Lily sedang mengalami asthma attack. "Hey, hey.. breathe Lily," ucap Justin, mencoba untuk tetap tenang. Justin menggenggam tangan Lily yang sudah dingin sekarang. Lily memegangnya erat.

Tidak dapat menahan rasa sesak di dada, tubuh Lily akhirnya ambruk. Tubuhnya hampir saja jatuh ke bawah, jika Justin tidak menangkapnya.

"Lily.."

Justin semakin khawatir. Dengan cepat, ia membawa Lily ke dalam pelukannya dan menggendongnya sambil berlari ke dalam coffee shop yang berada di dekat taman tersebut.

Ia pernah membaca bahwa minuman yang memiliki tingkat kafein tinggi dapat menghentikan seseorang yang sedang mengalami asthma attack.

"Can I please get a cup of warm coffee, very quick please," Pesan Justin pada salah satu waiter sambil meletakkan tubuh Lily di atas sofa.

"Sit uptight Lily, please. It helps.." Justin menyandarkan tubuh Lily pada sofa. Ia mengusap keringat yang berada di wajah Lily dan menatap Lily dengan kekhawatiran. "Breath slowly, take a very deep breath." Salah satu tangan Lily menggenggam tangan Justin dengan erat, sementara ia mulai mencoba untuk bernapas dengan benar.

Ketika kopi hangat pesanan Justin sudah diantar, ia meminta Lily untuk mencium aroma kopi tersebut dan meminumnya perlahan.

"Your girlfriend has an asthma attack?" Tanya pelayan yang baru saja mengantarkan pesanan kopi tersebut.

"She's a friend," Justin mengangguk, kemudian melanjutkan. "I have heard that coffee helps so I decided to just bring her here,"

"You looked so worried. Thought you are her boyfriend," Ucap pelayan tersebut sambil mengeluarkan inhaler dari kantongnya. "I have an asthma too."

"Thank you so much." Ucap Justin sambil meletakkan tabung oksigen di depan mulut Lily. "Lily open your mouth,"

Begitu Lily mendapatkan sokongan oksigen dari tabung inhaler tersebut, Justin bernapas lega. Ia mengembalikan inhaler tersebut kepada si pelayan sambil berucap terima kasih.

Lily dapat kembali bernapas dengan normal. Wajahnya masih pucat. Namun ia sudah bisa tersenyum tipis. "Thank you," ucapnya lemah kepada Justin.

"Why are you thanking me," Justin menggeleng sambil mengusap punggung Lily halus. "It's my fault. The smoke was the one who triggered it in the first place."

"You didn't know about that, so it's not your fault." Lily menjatuhkan pandangannya pada tangannya dan Justin. Ia baru sadar bahwa ia masih menggenggam tangan laki-laki itu sejam tadi. Justin terbatuk dengan awkward, sebelum akhirnya melepas genggaman tangan Lily.

Justin berjalan dan duduk di depan Lily. "You should have told me that, I would've stopped and not being a jerk like that."

Lily hanya mengangkat bahu, lalu mengambil kopi hangat di depannya. "I'm sorry." Ucap Justin sincere. "I won't smoke again." Lily yang sedang meminum kopi harus berhenti menyeruput kopinya. Justin akan berhenti merokok? Hanya karena Lily?

"Really?" Tanya Lily sambil mengangkat salah satu alisnya. "I will try not to smoke, at least when there's you are around me, I mean, when there's everyone around me." Ucap Justin mengoreksi cepat.

"It's not because of you that I want to quit smoking," Justin menggaruk bagian belakang lehernya. "I realized that it could be harmful to people around me."

"Self-destructive is okay, but when I also harm people around me, I will stop." Ujar Justin lagi.

Lily menggeleng cepat. "Self-destructive is not okay, Justin. You have to think about yourself first, and love yourself first."

Justin tidak peduli dengan ucapan Lily, karena terkadang ia melakukan hal-hal yang menjurus ke arah self-destruction. Beberapa hal tersebut dapat membantunya melupakan rasa sakit di hatinya. Helps him numb the pain.

So he'll take it.

***

Justin dan Lily berjalan bersampingan sambil membicarakan hal-hal dalam hidup. Bercerita pengalaman, berbagi perspektif. Justin sadar bahwa Lily, teman kecil yang dulu ia juluki dengan sebutan 'fat' memang sudah banyak berubah. Ia tumbuh menjadi perempuan cantik, bijaksana, dan berani. Pemikiran dan perspektifnya dalam hidup terkadang membuat Justin heran, bagaimana bisa perempuan yang seumuran dengannya bisa berpikir sebijaksana itu.

Selama perjalanan pulang, Justin merasa tenang dan bahagia. Hari yang ia lalui bersama Lily menyenangkan. Ia tidak perlu memasang topeng di depan Lily. Ia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa khawatir Lily akan menghakiminya. Dan ia suka perasaan itu.

"I like spending time with you." Ucap Justin tiba-tiba.

Lily mendongak menatap laki-laki itu. "Did you hear yourself now, Justin?"

"Yeah, it's funny." Justin tertawa kecil. "I used to think that you are lame, nerd, and fat—" Lanjut Justin. "But now a couple years later, I like your company."

"I know right. I can't believe it too. I used to dislike you," Lily mengerutkan dahinya.

"But perhaps you are just in a good mood, Justin. That's why you are saying that."

"Could be," Jawab Justin. "There's only one way to find out."

"And what is that?"

"Another date with me?"

Lily merasakan pipinya memanas. She's blushing for no freaking reasons. But the way he said that, she found it cute.

"Aw, cutie." Justin mengeluarkan ponselnya, kemudian mengarahkan kamera depan ke arah Lily.

Ia menjepret beberapa gambar Lily yang belum siap untuk difoto, sambil tertawa lepas. "So cute."

Lily menggelengkan kepalanya. "You are something, Justin. I can't read you and I don't know you. One minute you are acting like a jerk and another minute you are... just sweet."

"I don't know myself either, Lily." Jawab Justin sambil mengedipkan sebelah kelopak matanya. Terdengar nada kegelisahan di dalamnya, namun Justin menutupinya dengan baik.

"See you on the second date, cutie." Itu ucapan terakhir Justin sebelum Lily menutup pintu rumahnya.

***

Author's Notes

I miss writing, guys. That's why I am back. I miss it so much. Banyak hal yang sudah terjadi dalam satu tahun belakangan ini, I graduated! Got a new job, dan sekarang sedang mencoba menemukan diri sendiri lagi. Existential crisis always happens, duh. But yeah, i miss you.

How are you guys? :)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 24, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang