satu yang akan berkahir

35 3 1
                                    

Hari terus berganti. Bagai tak mau memberi kesempatan pada makhluk yang menyia-nyiakannya. Dibawah renungan cahaya bulan, aku terduduk diam memandangi kertas nan putih di hadapanku.

Pukul sudah menunjuk keangka 9. Sudah hampir larut. Namun aku tetap bersama kertas putih itu.
Entah dorongan darimana, malam ini aku ingin menuliskan beberapa patah kata yang dapat aku tulis.
Aku tersenyum sembari mengingat apa yang ingin ku tulis. Sesuatu hal yang ingin aku ingat. Dan aku mulai menulis kehidupannya. .

----------------------------

Bagai sebuah rutinitas di setiap pagi. Aku terbangun, lalu berberes beres, lalu berangkat ke kampus. Seperti itu terus menerus. Tak ada yang istimewa. Sampai aku mulai menemukan dirinya, di antara ribuan manusia yang mengadu keberuntungan di tempat itu.

Manik matanya tetap sama. Hoody hitam dan juga jeans hitam ditambah kets yang selalu menemani nya. Sederhana namun memberi dampak istimewa untukku.

Namanya Kian. Nama yang indah, Seindah pancaran mata dan senyumnya.
Ia Tak melihatku. Ia hanya terarah kepada teman teman yang mengitari nya.

Mungkin tadi aku lupa menambahkan tentang rutinitas ku. Yaitu memandangi keindahan nya setiap pagi nan jauh.
Tak apa. Seperti ini saja sudah menjadi sarapan manis untukku. 

Aku mulai melangkah mendekatinya. Tidak. Bukan karena aku ingin memujanya. Hanya saja kami memang berteman. Aku memang memiliki rasa kepadanya, namun ia memang tak mengetahui nya. Tak apa.

Semakin jelas aroma parfumnya, semakin jelas bahwa aku begitu memujanya sampai-sampai degup ini seperti berlari ribuan kilometer.

"Halo guys . Selamat pagi." Hanya itu yang bisa terucap. Selalu seperti itu.
"Halo juga." Semuanya membalas. Termasuk dirinya.

"Eh. Sorry, kayaknya gua harus duluan. Bye." Tanpa aku membalas ucapannya, ia berlalu begitu saja. Tampak sepertinya ia tak bohong dengan perkataannya.

Bahkan aku belum mendudukkan diriku. Dan aku memutuskan untuk beranjak memasuki kelas. .

Didalam kelas, aku terkejut. Betapa banyak orang yang mengagetkanku . Lalu aku menerawang orang-orang itu. Dan tepat di papan tulis kami bertuliskan "HAPPY BIRTHDAY MIKHA."

Demi Spongebob dan celana kotaknya, aku pun tak ingat ini hari ulang tahunku. Aku benar-benar tak ingat. Atau karena aku adalah anak yang periang dan cukup aneh sampai-sampai ulang tahunku saja tak ingat. Untungnya ada teman-teman baikku yang ingat. Kalau tidak, mungkin aku akan lupa bagaimana aku bisa berada di kehidupan ini.

Kue ulang tahun dengan berlilinkan angka 19 itu masih menyala dihadapan ku. Aku memejamkan mata seraya berdoa. "Aku hanya ingin menjadi lebih baik. Seperti biasa Tuhan, hanya saja kali ini. Aku memohon, beri tau aku milik siapa garis takdir kehidupannya. Ia yang selalu aku sebut dalam doaku." Memang terdengar lancang dan memaksakan. Namun bukankah berharap bukan berarti aku menjadi egois? Ku harap juga begitu.

Dan tak lama pelajaran pun berlangsung.
Teman disebelah ku yang dari tadi tampak gelisah atau mungkin bosan, mulai menganggu ku. "Eh Kha, apa si doi udah ngucapin?" Ia setengah berbisik.
Aku hanya menoleh lalu menggeleng. Ya memang begitu miris. Ia mengingat namaku saja, aku sudah bersyukur.

Mungkin terdengar bodoh atau naif. Aku menyukai seseorang yang nyaris sempurna jika dibandingkan dengan seorang yang mirip dengan Upik abu seperti diriku ini. Tanpa memperhatikan sekitar, tanpa memperhatikan siapa aku. Rasa ini ku biarkan tumbuh merekah lalu bersarang. Rasa ini bagai balon yang kian hari makin melebar jika diisi oleh angin. Terus membesar sampai-sampai aku mulai merasakan sesaknya ketika bertemu dengannya.

Tetapi aku tak berani untuk mencapainya. Bukan. Bukan berarti aku memainkan takdir atau suasana. Bukan juga aku menyerah. Bukan. Hanya saja, pandangannya begitu jauh sampai aku tak bisa meraih. Dan juga pandangan ku yang begitu malu malu.

Jam kelasku sudah usai. Waktu pun sudah hampir petang. mentari mulai menyembunyikan dirinya. Sebelum pulang, aku sempatkan untuk sekedar merenung di rooftop gedung universitas.  Itu memang menjadi kebiasaan ku  kala aku bosan atau penat . Hampir saja aku terpejam  Namun sebuah panggilan membuatku tersadar.  Aku menoleh dan terkejut ketika aku tahu siapa yang memanggil.

Ia Kian. Dengan penampilan nya yang masih sama dengan tadi pagi ku lihat. Ia terus berjalan mendekatiku. Senyumnya yang terus merekah membuat jantungku sangat tidak sehat. Oh ku harap jantungku masih berfungsi setelah ini.

Ia sampai dan aku langsung berdiri untuk menyamakannya. "Ada apa?" Tanyaku singkat.
"Hmm. Mau tanya sesuatu boleh?" Ia tampak berhati hati. Kurasa ini adalah hal yang sensitif. Dan aku mulai memperhatikan nya.

"Iya. Ada apa?"
"Hmm tapi janji ya untuk tidak memberitahukan ini kepada siapa-siapa." Aku mencoba menahan diri ini untuk tidak terbawa suasana. Entah ia mengatakan itu sambil tersenyum malu-malu. Hampir aku hilang kendali. Tapi tetap, aku sedikit tak bisa menahan harapan itu. Harapan tentang ia yang akan membicarakan tentang diri ku.

"Iya. Emangnya ada apa sih? " Aku semakin geram. Namun ku tahan.

"Hmm gue... Gue. Aku mau minta informasi tentang adik tingkat yang kemaren sama kamu itu. Sekaligus nomor WhatsApp nya?" Senyum malu malunya semakin menjadi.

Aku mendengar suara petir dan hujan. Ku kira akan hujan. Namun tak ada bau petrichor disini. Aroma yang menandakan tentang hujan.

Dan benar saja, ternyata itu suara relung hatiku. Aku tahu, ia sudah tak baik baik saja. Namun aku tak mungkin kan memberi tahu orang di depanku yang sedang kasmaran ini.
Aku ingat kemarin, aku sempat beberapa kali mengobrol dengan orang yang ia maksud.

Kami menjadi cukup dekat karena selain ia adik tingkat, kami pun berada di prodi yang sama. Aku tak tahu bahwa pertemuan singkat ia dengan Kian akan berdampak seperti ini.

"Hei Mikha. Are you here?" Ia melambaikan tangannya didepan wajahku.
"Oh iya, ia dia adik tingkat gue. Kenapa? Suka?" Sungguh pertanyaan bodoh. Tanpa aku tahu jawabannya pun, aku sudah tahu semuanya. Ekspresinya, tingkah lakunya, semua itu pernah ku rasakan . Mungkin sekarang aku masih merasakan. 

"Yaa mungkin begitu. Gue akan mencoba pendekatan dulu sama dia. Doain gue ya." Lagi-lagi aku harus menjadi naif disaat seperti ini.
"Iya. Nanti gue kirim nomornya.  Good luck ya."

Langit sore ini begitu cerah. Namun tidak dengan rasa dan jiwa ku.
Mungkin langit cerah karena senja tak mau pergi meninggalkan ku juga. Meninggalkanku yang begitu kasihan seperti ini. Mungkin ia ingin menghibur ku. Walaupun ia juga menyaksikan beberapa kata yang begitu pilu dari kisah-kisah yang tak pernah bergaris ini.

---------------------------

Mulai saat itu, aku tak pernah tau, untuk siapa garis takdirnya. Apakah doaku waktu aku ulang tahun itu belum didengar tuhan? Tapi aku yakin Tuhan Maha Mendengar. Entahlah.
Sampai saat ini juga, akupun belum tahu untuk siapa penantian ini akan berlabuh.

Aku dengar, kemarin salah satu teman yang berbisik saat hari itu menikah dengan pria yang digariskan untuknya. Aku tahu, pria itu telah menemukan tulang rusuk nya. Dan juga penantian panjangnya telah usai.

Namun Ia -yang selalu ku sebut namanya dalam doa dulu-, apakah penantian nya telah usai? Ataukah masih harus menunggu lebih lama?

Entahlah, aku benar benar tak tahu permainan takdir macam apa lagi yang akan Tuhan berikan kepadaku. Aku tak ingin mempermainkan garis Takdir yang telah dibuat nya. Biarlah. Biarlah garis itu menuntun penantian ini sampai ke penghujungnya. Lalu aku akan tahu, sampai dimana penantian ini tetap berjalan.

Aku tutup buku usang itu. Kertas nan putih hanyalah sebuah isi dari sampulnya yang telah usang.

5 Tahun sudah. Namun ukiran namanya tetap sama. Sekali lagi ku ucapkan, biarlah penantian ini yang akan menghapusnya.

-Tamat-

Halo. Ini aku buat karena seseorang telah berulang tahun hari ini. Ini bukan 100% kisah nyata ya. Hehe gak tau juga sih. Aku hanya menyimak dari beberapa capture WhatsApp yang dia kirim. Dan dibumbui oleh banyak fiksi disini wkwkwkwkwk. Ku harap kalian dan kamu terutama, suka ya.
Xoxoo

 Di Ujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang