'Gia.' panggil satu dari tiga orang bocah yang sudah berdiri di depan rumah bernomor Blok C-4 . Usia mereka sekitar sepuluh tahunan.
'Kita ngapain ajak dia main, sih, An?' tanya satunya bernada keluh.
Bocah bernama Anna itu terdiam sejenak sembari memandangi dua temannya dengan heran. "Emangnya kenapa? Setahun yang lalu rumah Gia ini, tempat kita kumpul dan main bareng. Tapi sekarang kok jadi begini?"
'Itu karena Ibu-nya Gia masih di sini, An.' celetuk lagi dari mulut salah satu remaja itu.
Hmm
Di dalam rumah, dari balik gorden putih Gia menghela napas berat. Gia merasa tidak enak hati apalagi ini bukan pertama kalinya Gia mendengar, Anna berdebat dengan Lulu dan Nisa perihal masalah ini.Gia membuka pintu rumah sedikit lalu mengeluarkan kepalanya. 'Aku lagi gak bisa main dulu.'
'Tuhkan, An. Yuk kita-kita aja. Lagian Gia memangnya ada uang untuk jajan bareng kita?'
Untuk sesaat Anna terdiam sembari memandangi pintu rumah Gia yang sudah kembali tertutup rapat sebelum akhirnya meninggalkan rumah itu dengan wajah murung.
Usai memastikan ketiga temannya pergi, Gia menutup gordennya lalu mengusap dengan cepat air yang sudah membasahi pipi.
Mata Gia memandangi setiap sudut rumah yang setahun lalu belakang menjadi tempat berkumpulnya anak-anak seusianya.
Bukan sekadar untuk main, atau belajar, tetapi rumah sederhananya ini adalah tempat latihan menari untuk bocah-bocah terutama saat mendekati tanggal kemerdekaan, maupun acara tahun baru.Ibunya Gia dulu pelatih nari yang cukup terampil dan di segani di wilayah ini.
***
Gia mengusap air mata di ujung pelipisnya yang keluar sedikit lalu tersenyum. Tangannya tak henti mengusap bagian samping lemari pendingin dua pintu yang tak terasa sudah satu bulan menetap di rumah ini.
"Gia?" Bapak memanggil membuat remaja itu menoleh. "Ada Anna di luar," sambungnya.
Gia mengangguk kemudian mencium tangan Bapak untuk berpamitan. Kemarin saat pulang sekolah, keduanya memang sudah saling berjanji untuk mengerjakan simulasi lembar kertas ujian bersama-sama. Maklum, tahun ini adalah semester akhir Gia menginjakan kaki di bangku sekolah menengah pertama. Kurang dari dua bulan lagi, ujian Nasional akan di laksanakan serentak pada seluruh penjuru Negeri.
"... Gimana Gia, yang gue sampaikan tadi bisa diterima dengan baik oleh otak lo, kan?" tanya Anna tertawa geli. Anna adalah teman Gia sedari mereka sama-sama berusia enam tahun.
Gia mendengus kesal seraya menggelengkan kepalanya tegas.
Anna tertawa kecil. "Kenapa sih? Matematika itu seru loh."
Kaki Gia berhenti melangkah. Matanya galak menatap Anna yang di nilai sudah bicara tanpa beban. Tiga detik kemudian Anna menoleh di lanjutkan tertawa geli. Anna adalah satu-satunya orang yang gemar memancing emosionalnya seorang Gia sedari mereka duduk di bangku sekolah dasar. Meskipun tempat tinggal mereka saat ini tidak terlalu dekat seperti dulu, Anna selalu meluangkan waktunya untuk bertemu Gia di luar sekolah.
"Lo sendiri kenapa kok sebegitunya sama matematika?"
Anna tersenyum. "Selain karena Matematika not bad, setelah lulus nanti, gue mau masuk sekolah farmasi, Gi. Nilai matematika tinggi jadi salah satu syarat."
"Farmasi? Jadi gue bisa ya, kayak beli obat atau gue kalo lagi kenapa-napa tanya ke lo dulu."
Anna mengangguk dengan antusias. "Jangan tanya ke orang lain ya, Gia. Lo udah gue booking sebagai pelanggan di apotek gue yang pertama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pergi Pamit, Pulang Pahit
Abenteuer"Bapak, Hidup ini, Bajingan. Dan Aku bertahan karena Bapak, Kalau Bapak udah gak ada, selanjutnya apa?" - Gia ⸙͎ ំஂ𝙋𝙚𝙧𝙜𝙞 𝙋𝙖𝙢𝙞𝙩, 𝙋𝙪𝙡𝙖𝙣𝙜 𝙋𝙖𝙝𝙞𝙩 ំஂ˖۪⸙͎ Sebelum aku pamit, Setelah Bapak Berpulang.. Ini bukan hanya tentang kisah...