27. I am Sweating Out The Toxins, Is my Terracotta Heart Breaking?

1.5K 339 79
                                    

WARNING

BOYS LOVE

The work Focused on boys/boys relationship

=========

Playlist

Terracotta Heart

Blur

***

Tentu saja, tak sampai setengah jam kemudian, Lantang sudah menekan bel rumah Ben dan tak menanti sampai dibukakan pintu. Langkahnya terayun ceria memasuki kediaman tetangganya seperti rumahnya sendiri, mencari-cari dan menemukan Ben sedang tampak sibuk menghadapi layar laptop di ruang kerjanya.

"Hai," sapa Lantang canggung, tapi senyuman ramah Ben selalu bisa membuatnya nyaman. Ia masuk, kedua tangannya terjalin di balik punggung, nyaris melompat saking bersemangatnya. "Lagi ngapain?"

Ben mengangkat alis, menunjuk layar laptop dengan dagunya. Sewaktu Lantang mendekat dan membungkuk di balik tubuhnya, kemudian melongok melewati bahu, pria itu memberinya kecupan dalam di pipi. Lantang memejam, membalas dengan ciuman singkat di bibir Ben. Aroma kolonye dan sabun mandinya membuat Ben menghidu dalam-dalam, tapi tak berkomentar meski sempat mabuk kepayang.

"Kamu mau lihat foto putraku juga?" tanya Ben, menggerakkan tetikus.

"Oh apa akhirnya kamu dapat fotonya?"

"Hanya beberapa," kata Ben. Kursornya berhenti di sebuah folder tak bernama. Sebelum membukanya untuk Lantang, Ben menggumam, "Mungkin tak sesuai dengan harapanmu, tapi kuharap kamu simpan saja pendapat itu di hatimu, ya?"

Lantang tak paham, tapi tak sempat bicara. Saat Ben menekan satu file di dalam folder tersebut dan sebuah foto terpampang di layar, Lantang langsung mengerti apa maksud ucapan kekasihnya. Mau tak mau, ia terkejut, tapi sejak kecil ia diajarkan untuk sedapat mungkin tak mengeluarkan pendapat tentang penampilan seseorang jika ia tahu itu akan menyakitkan.

Putra Ben tak sempurna, Lantang langsung bisa menghubungkannya dengan penjelasan Ben tentang kondisi pasca kelahiran bocah berusia tujuh tahun yang saat ini dipandanginya. Walaupun anak itu tampak jauh lebih kecil dari bocah seumurannya, wajahnya kurang sedap dipandang dan tampak ringkih, namun ia tersenyum bahagia pada kamera yang menjepretnya.

Lantang memeluk bahu Ben, "He has your smile," bisiknya.

Mata Ben berkaca-kaca. "No, he has better smile," katanya.

"Oh siapa nama putramu, Ben? Aku belum pernah tahu."

Mendengar pertanyaan itu, senyum bahagia di wajah Ben perlahan memudar. Ia menghela napas, memandangi gambar putranya cukup lama, baru menoleh ke wajah Lantang yang menanti. Pemuda itu membalas tatapannya dengan keantusiasan yang belum reda, tapi karena Ben membutuhkan waktu cukup lama untuk menjawab, ia pun mulai heran.

"Apa kamu siap tahu satu rahasia lagi dalam hidupku?" tanya Ben.

Alis Lantang bertautan.

"Ambil kursi itu dan duduklah di dekatku," perintah Ben, Lantang melaksanakannya tanpa membantah. Begitu ia duduk, Ben memutar kursi berhadapan dengannya. Berdeham. "Namanya mungkin akan bikin kamu agak kaget, tapi sungguh ... kami nggak ada maksud apa-apa menamainya seperti itu."

"Oh ... Oke ...." Lantang mengangguk-angguk tak sabar, menepuk pahanya untuk mengantisipasi seberapa mengejutkan nama putra Ben. "Siapa namanya?"

Ben menelan ludah. "Namanya Rangga."

LantangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang