Copyright of LusarangLuna
2019Rate PG-13
For further understanding of the situation.Biru muda.
Batik yang kukenakan hari ini. Batik yang bercorak megamendung berwarna putih. Katamu desain batik ini berasal dari Bandung, tempat kelahiranmu. Katamu juga kamu membeli batik ini karena teringat warna ujung rambutku.
"Geulis"
Katamu sambil membelai rambutku pelan.
"Kamu cocok di highlight biru gini."
Dan aku pun tertawa mendengarmu.
"Ombre sayang. Ini namanya di ombre. Bukan highlight. Masa gini aja kamu gatau?"
Kataku saat itu. Masih tertawa, mengejekmu. Kamu saat itu tersenyum tipis sambil kemudian mengelus pipiku yang saat itu masih gembil. Mencubitinya pelan. Kalau aku protes, kamu pasti akan makin kencang mencubit. Kamu memang gak pernah menuruti aku.
Tapi sungguh, aku lebih memilih kamu cubiti sampai pipiku merah saat ini. Disini, dikamarku, bersamaku. Kamu pasti akan tertawa melihatku memakai batik ini. Kamu pasti bilang aku terlihat tua, norak. Padahal kamu sendiri yang membelikannya untukku. Tapi kamu juga yang mengejek pilihan batik darimu. Kamu memang aneh. Ah tidak kamu itu unik. Kamu satu keunikan di hidupku yang akan selalu menjadi satu-satunya yang terindah.
Ah sudahlah, aku bicara apa sih. Mengkhayal tidak akan merubah apapun yang sudah terlanjur. Melihatmu saja mungkin sudah merupakan anugerah tersendiri. Harusnya disyukuri. Bukan ditangisi. Tapi kenapa ya rasanya susah menghentikan air yang mengalir dari mataku ini. Sepertinya lebih baik hari ini aku menggunakan kacamata. Untuk menyembunyikan telak hancurnya diriku.
***
Dingin.
Aku rasakan saat memasuki gedung itu. Biasanya kalau tahu aku kedinginan, kamu pasti akan memberikan jaket jeans kesayanganmu itu untuk aku pakai. Jaket jeans kenangan yang saat awal kita jadian masih mulus dan bersih. Namun terakhir aku memakainya sudah lusuh, penuh patch, desain pilox dengan bentuk yang aku tidak tahu, noda hitam eyeliner bekas airmataku. Ah tolong hentikan kilas balik kenangannya, mataku sudah seperti keran bocor sejak semalam. Tidak ada hentinya mengeluarkan airmata. Kamu pasti kalau melihatku akan tertawa.
Ah tapi apa hakmu untuk tertawa? Kalau kamu jadi aku, pasti kamu tidak akan setegar aku. Yang dengan bodohnya masih mau datang hanya untuk melihat wajahmu. Mungkin untuk yang terakhir kali. Dan dengan pikiran sok tegar itulah aku melanjutkan langkahku yang sempat terhenti di depan papan rangkaian bunga bertuliskan namamu.
"Nad, apa yang bakal kamu lakukan kalau aku udah gakada?"
Katamu waktu itu sesambil memandang langit di bukit pelangi. Tempat kamu menyatakan perasaanmu padaku tepat 2 tahun sebelumnya.
YOU ARE READING
Madrugada
RandomThey said the best ideas come after midnight. [G] General [T] Teen [PG-13] Parental Guide [M] Mature [AV] Adult Violance