Heart and Bacteria.

11 2 0
                                    

From nothing being nothing
.

.
.
.
.

Sebut saja aku hati
dan kamu bakteri.

Bakteri tetap saja bakteri, tetap membuat luka.

"Ini ceritaku tentang kedatanganmu dan kepergianmu sebagai bakteri di hati"

"Echaa! Itu Riko sudah nunggu di depan" teriak mama dari ruang tamu.

"Iyaa ma" aku segera membereskan bukuku dan memasukkannya ke dalam tas. ah ya tidak lupa aku mengecek penampilanku di kaca dekat pintu kamarku dan aku langsung berlari keluar.

"Ma berangkat ya" aku berpamitan dan langsung keluar.

"Iya Cha, ati-ati. Riko hati hati ya" teriak mama mengingatkan.

Kulihat sosok yang dipanggil mama 'Riko' itu tersenyum dan mengiyakan kata mama. Aku tersenyum dan menyapa Riko, lalu kita berangkat ke sekolah.

" masih awal, saat semuannya masih indah dan terang"

Sudah bertahun-tahun aku berteman atau lebih tepatnya bersahabat dengan Riko. Kalau kalian bertanya - tanya seperti apa si 'Riko'itu akan aku jelaskan, dia memiliki badan yang tinggi, senyum yang ramah, dan matanya teduh. Ia adalah definisi nyaris sempurna menurutku, prestasinya cukup baik, pandai bermain gitar juga jangan remehkan skill memasaknya, semua masakan yg ia buat sudah masuk ke daftar makanan favoritku.

Bersahabat dengan Riko adalah sebuah kebahagiaanku dalam hidup ini. Ia benar-benar mengerti diriku, kesukaanku, keburukanku, bahkan yg aku sendiri tidak tahu. Ia bisa mengerti saat mood ku sudah berubah sedikit saja. Pasti ia langsung buru-buru untuk bertingkah demi membuatku tertawa. Ia ramah dan banyak yang mau menjadi temannya...

Tak menutup kemungkinan juga banyak yg menginginkan hatinya.

"bagaimana jika hati ini terus mengalami sakit yang sama?"

Nyaman.

Ya, dengan Riko aku nyaman, semua masalahku rasanya baik-baik saja.

Jika kalian bertanya apa aku pernah sekali saja berharap 'lebih' terhadapnya ?

Ya.

Munafik jika aku mengelak, untuk apa juga.

Aku pernah mencoba melihatmu sebagai sosok lain yang mungkin saja bisa mengisi hatiku, namun aku sadar. Ini salah. Jangan. Aku tak mau semua kenyamanan dan semua tawa ini tiba-tiba berakhir begitu saja.

Ku pendam dan berusaha menghilangkan perasaan ini. Kataku dalam hati "sudah, mungkin ini hanya rasa sementara yang terbawa suasana"

"Kau hadir bagai bakteri. Kadatanganmu ringan dan tanpa di duga. Perlahan aku mulai nyaman dengan keberadaamu. Dan tanpa kusadari, sebenarnya kau perlahan tumbuh menyebar dan memakan hatiku."

"Cha Echaaa... Aku punya kabar gembira" Riko datang dengan terburu-buru dan duduk di kursi depan mejaku. Wajahnya sedikit berkeringat, mungkin karena dia sedikit berlari tadi. Senyumnya entah sudah selebar apa itu.

"Kenapa Rikooo? Santuy dong nggak usah ngegas" jawabku dengan muka sebal, bagaimana tidak, aku sedang mengerjakan tugas dan di tugas itu tidak boleh ada coretan, tidak ada coretan, coretan...sedikit pun.

"Jadi kamu tau rencana yang aku bilang kemarin"

"hmm ya" aku mendadak terdiam dan semua perasaan cemas semalam akhir nya terjadi, rencana itu... apa yang Riko mau ngajak doinya nonton ya.

"Si Zela mau aku ajak nonton YAS, makasih ya Cha, semalem udah bantuin nyari topik, makasih udah bantuin aku buat ngajak Zela nonton"

"yah, benar ternyata. Kuharap tak ada satupun yang mendengar barang pecah disini"

Rico dengan anarkis menggoyang pundakku, entah dia pikir badanku mungkin boneka yang ringan dan tidak akan protes jika diguncangkan

"iya-iya Ric, santai dong, sakit oi ahahaha. Semangat ya, ati-ati zelanya dijagain."

"ayo senyum, jangan buat Riko khawatir waktu dia lagi bahagia"

Kenapa mulut ini masih bisa tersenyum. Mungkin karena aku terlalu sering melihanya bercerita dengan antusiasnya tentang Zela, perempuan yang akhir-akhir ini menjadi prioritas dari Riko. Aku jadi terbiasa menerima rasa sakit dan tanpa ia sadari aku tersenyum dengan senyuman kosong ini.

"Perlahan tapi pasti, perlahan semuanya menjadi kelabu. Cahayanya meredup dan semakin menjauh. Aku takut di sini sendiri.
Hingga waktu itu..."

"Cha kita sudah resmi lho" Riko dengan Zela di belakangnya, wajahnya tersenyum lebar begitu juga dengan Zela, mereka tampak bahagia dan...cocok.

"Beneran nih? Jangan lupa peje yaaa. Ahahaha akhirnya, kalian tuh cocok deh" aku merasa skill aktingku semakin bagus saja.

"Itu mah gampang, nanti aja aku traktir bakso yang biasanya. Oiya, aku pulang sama Zela ya, gaapa pulang sendiri?"

"Halah, tenang aja udah gede gini bisa pulang sendiri kok. Yaudah duluan ya. Ati-ati Zel kalo sama Riko. Hahahah" aku harus segera pergi dari sini.

"Apaan sih Cha, ati-ati kalo keserempet angin" Riko dan Zela tampak tertawa. Aku segera keluar dari lapangan dan menjauh sejauh yang aku bisa.

Sesampainya di tempt sepi, yang aku rasa tidak akan ada yg melihat cairn bening ini mengalir dari mataku.

"hiks...hiks"

Ternyata hati ini sudah sampai batasnya. Apa aku harus mulai menerima sakit ini? Namun aku bisa apa, melihatnya tersenyum membuatku ikut bahagia. Jika ini cara agar dia bahagia, yasudah. Aku memilih membunuh perasaan ini dan mencoba menyembuhkan lukanya sendiri. Semoga aku baik-baik saja.

" Melepaskanmu berarti juga seperti menghilangkan bakteri yang sudah dengan luas merambat di hati, menarik akarnya yang tertancap dalam. Meninggalkan hati ini hingga kosong. Menyisahkan rasa sakit yang entah kapan akan membaik.






-end.

Relationshit.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang