Kamar Nekino

16 1 0
                                    

Di Ruangan berukuran 3 x 4 meter aku duduk termangu didepan meja.

Mataku memandang ke balik jendela, menikmati pemandangan yang begitu mengagumkan; bentangan sawah yang tengah menghijau, anak anak mandi di aliran sungai, serta bukit barisan yang mengelilingi desa. Pantas saja namanya bukit barisan, lihatlah, mereka benar benar berbaris rapi di kaki langit.

Tidak bosan orang orang berkata "Alam selalu memberikan yang terbaik untuk makhluk hidup". Hanya dengan memandangnya saja hati menjadi tenang.

Tidak perlu pendingin udara, ruangan sudah terasa lembab oleh terpaan angin yang bertiup dari luar. Suara kicauan burung, suara berdebam anak anak meloncat dari jembatan, cukup membuatku untuk sejenak merelaksasikan diri.

Ruangan ini menjadi tempat favoritku sejak tiga tahun silam, pada dasarnya ruangan ini merupakan kamar milik nekino, aku sulap menjadi ruang kantorku, tentu saja dengan beberapa bagian yang sudah aku ganti; jendelanya kuperbesar, kira kira ukuran 1 x 2 meter, memanjang, agar kelihatan estetik, pikirku.

Sejak nekino meninggal rumah panggung dua lantai ini kujadikan tempat bagi siapa saja yang ingin belajar, ingin bersenang-senang sekaligus mencari nafkah.

Siapa yang bisa menyangka, aku yang dulu bosan dengan kehidupan bahkan sempat berfikir untuk mengakhiri hidup, akhirnya bisa menjalani kehidupan seperti sekarang; sederhana, penuh kehangatan dan menyenangkan.

Pintu berderit membuyarkan lamunan ku, ternyata Genta. Bocah itu datang berseru riang, berteriak memanggilku
"Yuk Kinan"
"Genta, kan sudah ayuk bilang kalau masuk itu.."
"Ketuk pintu" katanya menimpali
cengengesan sekali anak itu
"Yuk ada tamu didepan katanya dari Palembang"
Belum sempat aku protes, dia sudah melanjutkan kalimatnya, dasar bocah nakal pikirku aku hanya bisa menggelengkan kepala.
"dia mau bicara sama yuk kinan"
"ya udah, tolong kamu anter mereka kesini ya"
Tiga menit kemudian Genta datang bersama dua pria
bocah itu keluar ruangan setelah pamit ingin membantu yang lainnya memasak, walaupun hanya disuruh mengambil garam, atau memanggil seseorang, tetap berguna anak kecil itu.

Dua pria berpakaian santai itu masuk keruanganku, mereka terlihat benar benar santai, maksudku, lihatlah mereka berdua hanya memakai baju kaus, satunya memakai celana belel dan satunya lagi memakai celana pendek.

Tapi siapa yang peduli, lagipula siapa juga yang akan berpakaian formal menemuiku, ini kan hanya rumah kreatif.

Aku hari ini juga memakai celana jeans selutut, kaus putih lengan panjang, tapi setidaknya kan jangan memakai celana koyak seperti itu, ah sudahlah.

"Selamat siang mbak Kinan" pria celana pendek menyapaku, mereka terlihat takjub ketika memasuki ruangan, melihat kiri kanan, memerhatikan hiasan dinding; poster kata-kata motivasi yang kami buat se-vintage mungkin, rak rak berbentuk persegi lima, tersusun rapi di dinding dan berisi novel-novel petualangan, mereka juga sesekali melihat pemandangan.

Aku sudah terbiasa melihat reaksi orang kota saat melihat pemandangan alam dari sudut jendelaku.

"anda keren sekali mbak, dari pertama masuk, saya kagum dengan tempat ini" si celana pendek tersenyum ramah. Entah berbasa-basi atau apa, aku tersenyum berterima kasih.

Tentu saja 'keren' pikirku, tempat ini seperti wadah kreatifitas bagi pemuda desa disini, mereka yang selama ini suka mencorat-coret tembok warga, bisa mencoret dinding rumah ini sepuasnya, tentu saja dengan catatan harus 'bagus', serta tanaman bunga dengan pot pot super cantik buatan gadis desa menggunakan ban mobil bekas yang sudah di cat warna-warni, tersusun rapi memperindah halaman depan rumah, dan pernak pernik lainnya seperti wooden poster ala vintage yang hampir memenuhi setiap dinding ruangan, dibuat sendiri oleh aku, pemuda desa, dan remaja lainnya.

Creative HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang