Selamat malam teman, kenalkan namaku Arya, itu jadi satu-satunya nama yang bapak kasih untukku tanpa ada nama panjang dan nama keluarga. Namun seseorang pernah memanggilku sayang di hari-hari yang sangat lampau. Sekarang ini aku masih tinggal di desa menjalani keseharian seperti orang-orang desa pada umumnya. Rutinitas bercocok tanam yang memang cukup melelahkan, namun tetap saja mengasyikkan. Mencari pakan ternak sesuai jadwal yang telah ditentukan. Selebihnya tidak ada bedanya dengan orang-orang desa lainnya. Mungkin yang membedakannya karena aku menulis. Aku yakin, aku sedang menulis seperti dia.
Malam ini bersama kelelahanku mengingatnya, aku coba tuliskan semua rasaku yang telah pontang-panting, menggelandang dikampung halaman kenanganku sendiri. Dia pernah berkali-kali menyebut kisahku dalam bukunya. Menyamarkan namaku meski itu satu-satunya nama yang aku punya. Semua orang telah membacanya. Kesedihan dan tawa mereka itu nyata, namun mereka kira ini hanya kisah fiktif belaka. Bagiku, membaca bukunya adalah bagian dari caraku belajar mengikhlaskan. Bagiku, nyata atau tidak nyata sebuah kisah harus mampu memberikan keseimbangan dalam melakukan segala hal. Menentukan, melakukan dan memutuskan butuh proses keseimbangan. Bukan seperti cara dia yang tiba-tiba menghilang, sama halnya melempar debu dikedua mataku.
Seharian aku membaca buku dia, mencoba menjadi orang lain, berharap tak menyentuh kenangan didalamnya. Dia menuliskannya dengan sangat detail. Ia mengatakan dalam bukunya bahwa aku Jaka Tingkir yang sering mengintipnya ketika sedang di kantin dulu. Dia memergokiku terbang menaiki burung rajawali ketika disuruh ibu beli obat di apotik. Dan dia sering meledekku dalam bukunya dengan cerita absurd yang tak masuk diakal. Itu, memang itu yang membuatku rindu kepadanya. Aku rindu gaya pelukannya, yang selalu saja membuat pegal badanku. Aku rasa tak ada perempuan setega itu memperlakukan kekasihnya dengan merangkul leher lalu membekuk kakiku dari belakang dan dia sebut itu pelukan?, tapi aku rindu.
Dia pernah katakan ini padaku “Jika suatu hari nanti aku terkenal, aku akan mengajukanmu sebagai menteri pendidikan dan aku mau kamu membuatkan perpustakaan di setiap desa yang ada di Indonesia”. Meski terdengar berlebihan, aku hanya meng-amini-nya sebatas kesuksesannya saja, kalau menjadi menteri, aku rasa itu hanya kelakar yang sering dia ucapkan.
Kini mimpinya telah terwujud, dia telah berada diatas bersama karya-karyanya yang hebat. Sedangkan aku menunggunya mengabariku, aku telah siap menjadi menteri seperti yang ia mau. Aku sudah siapkan program untuk perpustakaan di desa-desa. Aku sudah siap apapun yang ia mau. Jika waktu dapat diulang, aku ingin dia belajar tataboga saja yang penting tidak tentang menulis. Atau belajar silat saja seperti kakak-kakaknya yang sok jagoan itu, yang penting tidak ada hubungannya dengan menulis. Tapi sudahlah, nasi sudah diganti roti, itu peribahasa yang sering ia katakan saat menyesali sesuatu. Apa yang sekarang ini terjadi sudah digariskan oleh Tuhan, aku pula yang ikut mengamini agar mimpinya terwujud. Sekarang yang bisa kulakukan hanya menuliskan ini, dalam menunggu keberangkatanku mencarinya nanti. Dia sudah terkenal sekarang, akan sangat mudah untuk menemukannya, yang sulit bagiku mendengar sebuah kepastian.