🏥1 Kyungsoo

2.4K 357 36
                                    

Rumah sakit bukanlah tempat favoritku. Tapi, pagi ini mau tidak mau, aku harus mendatangi tempat dengan bau aneh tersebut karena rasa sakit pada tenggorokanku sudah tak bisa ku tahan lagi.

Sudah seminggu.

Kupikir rasa sakit itu akan reda setelah aku mengonsumsi ramuan herbal yang dianjurkan oleh temanku, tapi nyatanya, malah semakin parah. Aku tidak menelan makanan dengan baik. Minum pun membuatku meneteskan air mata. Dua hari ini, kondisi tubuhku kian drop. Karena itu, akhirnya aku memilih untuk menyerahkan diri pada para petugas medis di salah satu rumah sakit di kota besar ini.

🚑  🚑  🚑

Beberapa perawat dan dokter serta pasien-pasien yang berseliweran membuat kepalaku semakin pening. Sudah setengah jam aku duduk di bangku ruang ini menunggu namaku dipanggil untuk masuk ke ruangan lain yang bertuliskan
dr. Park Chanyeol, Sp. THT-KL pada plang kecil yang menempel di daun pintunya. Sepuluh menit berlalu hingga akhirnya namaku disebut untuk memasuki ruang periksa.

Aku sedikit membungkukkan badan memberi salam saat melihat seorang pria berjas putih duduk di balik mejanya. Senyum ramahnya sedikit menenangkan diriku yang sebenarnya sejak tadi mulai cemas dengan pemeriksaan nantinya.

"Silakan duduk", ucap dokter itu.

Aku duduk di kursi bulat tanpa sandaran yang ada di hadapannya, lalu meletakkan tas selempang hitam yang kubawa di atas kursi lainnya yang ada di sampingku.

Kulihat dokter yang bermarga Park itu menyiapkan lembaran kertas dan memegang sebuah bolpoin di tangan kanannya.

"Nona Do Kyungsoo?", tanyanya dengan suara berat dan senyum manisnya.

Aku mengangguk.

"Usia Anda?"

"Dua puluh lima tahun, Dok", ucapku dengan susah payah menahan rasa sakit di tenggorokanku.

Jantungku serasa berdetak lebih keras saat menangkap suaraku sendiri yang merambat melalui udara dan diterima oleh organ pendengaranku. Seperti suara katak yang meraung mengharap hujan turun. OK, mungkin terdengar hiperbolis, tapi percayalah, aku tidak tahu mendeskripsikannya bagaimana lagi. Suaraku terdengar aneh.

Ku arahkan pandanganku kembali pada sang dokter. Ia terlihat mengulum senyumnya dengan bahu bergetar. Oh, tidak! Sepertinya aku tengah ditertawakan olehnya.

"Ehemm.. Anda sudah menikah?", lanjutnya seolah tidak ada apa-apa, kemudian mencoret-coret lembaran putih di depannya dengan tulisan tangan khas dokter. Cakar ayam. Sulit dibaca.

Aku menjawabnya dengan gelengan kepala.

"Bagus", gumamnya dengan sangat pelan, namun masih bisa terdengar olehku.

Aku mengangkat kedua alisku seolah bertanya, "Bagus? Maksudnya?".

Dokter Park sepertinya paham dengan air mukaku.

"Mmm.. Mmm... Ya, bagus. Maksud saya, biasanya saya terkadang sedikit terganggu saat tengah memeriksa pasien wanita muda yang telah bersuami, karena para suami itu sering sering menunjukkan rasa tidak sukanya pada saya. Jadi, bagus jika Anda belum bersuami. Saya bisa lebih leluasa... Ah... Maksud saya, tidak ada tekanan yang berlebihan saat saya harus memeriksa kondisi Anda".

Dokter Park menjelaskan panjang lebar yang sebenarnya kuanggap sesuatu yang tidak perlu. Yang kubutuhkan sekarang adalah dia segera memeriksaku karena aku merasa sudah semakin lemah.

Aku mendengar ia sedikit menghela nafasnya berat sebelum kembali fokus padaku.

"Baiklah, keluhannya apa, Nona Do?".

Love at First SightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang