Part 4

5.1K 120 37
                                    

Flashback delapan tahun yang lalu.

Pagi ini aku memacu sepeda motor dengan cepat. Terburu-buru karena bangun kesiangan, takut nanti Pak Bimo pemilik toko marah. Sebagai pegawai toko kepercayaan tak mau mengecewakannya.

Ketika tiba di persimpangan jalan, aku melihat seorang wanita sedang berdiri di samping mobilnya. Karena penasaran aku menepi. Tampak seorang wanita dengan badan tinggi semampai dan berkulit gelap yang eksotis.

“Maaf, mobilnya kenapa, Mbak?” tanyaku.

“Uumm, mogok, Mas, Malah ini sudah terlambat ke kantor.” Wanita itu melongok jam yang melingkar di tangannya.

“Sudah menghubungi bengkel, Mbak?”

“Sudah, Mas. Tadi menghubungi orang rumah suruh ngurus mobil saya ini. Sekarang lagi tunggu taxi, tapi nggak lewat-lewat.”

“Emm, kalau nggak keberatan gimana kalau saya antar, Mbak? Takutnya nanti terlambat ke kantornya.”

“Memangnya, Mas nggak apa-apa mengantar saya? Takutnya nanti merepotkan.”

“Nggak apa-apa kok, Mbak, mari.”

Lalu aku pun mengantar ke kantornya. Sejak saat itu, kami sering berkomunikasi, baik via telepon maupun chat whatsapp.

“Kenapa, Lu, senyum-senyum sendiri,” goda Adrian.

“Apa sih, Lu, nggak ada apa-apa,” jawabku.

“Mikirin siapa itu, Cintya ya?” Adrian terkekeh.

Sial! Sok tahu banget si Adrian.

Mulai saat itu hari-hariku selalu ditemani Cintya. Entah kenapa sejak mengenal Cintya, hidup terasa berwarna. Pagiku selalu diawali dengan senyum ceria. Menurutku dia gadis yang baik, sikapnya lemah lembut dan perhatian. Dia juga sepertinya tak memandang seseorang dari jabatan pekerjaan. Buktinya dia mau berteman denganku yang hanya penjaga toko.

Hubungan kami pun semakin dekat. Setelah satu bulan mengenalnya, aku mengajak Cintya ke taman kota. Entahlah, ingin sekali mengungkapkan apa yang ada di dalam hati ini. Tak peduli bagaimana respon Cintya nantinya.

“Cin,” panggilku.

“Iya, ada apa?”

Dadaku berdebar. Jantung berdetak sangat kencang. Bekerja lebih keras dari biasanya. Aku gugup. Tenggorokan terasa kering, ingin berkata, tapi sangat sulit.

“A-aku mencintaimu,” kataku dengan terbata.

Tampak mata Cintya melotot tajam padaku. Dahinya berkerut. Melihat ekspresinya yang seperti tak suka. Aku semakin takut, keringat dingin mulai keluar. Khawatir kalau rasa ini bertepuk sebelah tangan.

Cintya masih bergeming. Dia menundukkan kepalanya.

“Cin, lihat aku.”

Cintya menatapku lama. Entah apa yang dipikirkannya.

“Maafkan aku jika telah lancang, Cin, tapi ini sungguh di luar kendaliku. Aku memang benar-benar mencintaimu. Ya, memang tak pantas mencintai seseorang yang nggak sekufu denganku, tapi bisa apa? Cinta ini hadir sendiri dalam hati,” jelasku panjang lebar.

Suasana masih hening, Cintya tak menanggapi ucapanku. Hanya terdengar suara detak jantungku yang berdegup semakin kencang. Benar-benar gugup. Jujur, baru kali ini mengungkapkan perasaan pada seorang wanita.

“Bram … kenapa kamu mencintaiku? Ada banyak wanita di dunia ini yang lebih dari diriku. Kenapa justru kamu memilih menyerahkan separuh hatimu padaku?” tanya Cintya, kemudian menunduk.

Bosan dengan istri(Sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang