Bagian 18

690 79 17
                                    

"Aku Chelsea Wijaya, aku kakak kelasmu semasa SMA. Aku kekasih Kakakmu Salsha, Ali. Aku kekasih Ali, Salsha" ujar wanita ini sambil berlinangan air mata. Aku menatapnya tak percaya. Ia kembali. Ia datang lagi ke dalam kehidupanku. "Mengapa? Mengapa kau kembali?" tanyaku tak percaya. Bukannya langsung menjawab pertanyaanku, tetapi ia diam sambil mengusap air matanya. "Mengapa kau datang lagi? Bukankah dahulu kau memutuskan untuk meninggalkan Kak Ali? Mengapa sekarang kau datang kembali dan meminta bertemu dengan Kak Ali? Kenapa?" kembali aku bertanya padanya. Namun ia masih saja bungkam. Ia hanya menatapku.

"Aku---aku tidak pernah memutuskan untuk meninggalkan Ali, tapi sebaliknya Salsha, Ali-lah yang memutuskan untuk meninggalkanku. Ia pergi ke Amerika setelah pesta pelepasan bukan? Ia pergi meninggalkanku" kembali ia mengeluarkan air matanya. Kembali wanita ini menangis. "Ia pergi begitu saja tanpa ada kejelasan. Ia pergi meninggalkanku bersama janinku. Ia pergi begitu saja ketika ia mengetahui bahwa aku mengandung anaknya. Ia pergi. Pergi tanpa berpamitan padaku. Ia pergi tanpa sedikitpun pertanggungjawaban. Ia meninggalkanku seorang diri, Salsha" ia mengatakan hal itu dengan air matanya. Aku dapat merasakannya, kesakitan yang dirasakannya. Kesakitan yang hanya dapat dirasakan seorang wanita. Tapi sangat sulit untuk dapat mempercayainya. Kak Ali tidak mungkin tega melakukan tindakan seburuk itu.

"Aku kehilangan segalanya. Aku kehilangan Ali, sosok yang sangat aku butuhkan dimasa-masa yang sulit seperti itu. Aku juga kehilangan keluargaku, mereka mengusirku ketika mengetahui bahwa aku mengandung anak Ali dan ayah dari bayi yang aku kandung telah pergi meninggalkanku. Bahkan disaat yang sulit seperti itu, aku tertimpa musibah yang sangat menyakitkan, aku kehilangan janinku dalam sebuah kecelakaan" Chelsea tampak mengusap air matanya yang sedaritadi terus saja mengalir.

Sulit, memang sulit untuk dipercaya. Aku hanya diam melihat dirinya yang terus saja mengeluarkan air mata. "Dan mengenai Iqbaal, aku tidak bermaksud untuk menjadi simpanan Iqbaal, aku hanya memanfaatkan Iqbaal agar aku mendapat informasi mengenai Ali dengan mudah" jelasnya. Namun aku masih saja diam seribu bahasa. "Aku akui jika aku salah, tapi aku mohon Salsha, kumohon maafkan aku. Kumohon, tak apa jika kau tak ingin mempertemukankku dengan Ali, tapi kumohon maafkan aku" ujar Chelsea yang kini telah berlutut di depanku. Aku masih terus diam. Aku tidak menjawab sedikit pun ucapannya. Bahkan aku tidak melirik dirinya yang kini tengah berlutut.

"Salsha, ku----"

"Pintu keluar ada disana, silahkan pergi, tinggalkan aku" seketika aku menyela ucapannya.

"Tapi Sal-----"

"Pergilah! Atau kau tidak akan bisa melihat dunia ini sampai akhir hayatmu" ya! Aku mengusirnya.

Seketika itu juga Chelsea bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu apartementku, "Kuharap kau dapat membantuku, kita sesama wanita, kau pasti dapat mengerti dengan---"

"Bagaimana kau dapat mengatakannya? Jika kita memang sesama wanita, dan aku dapat mengerti dengan perasaanmu, mengapa kau tidak dapat mengerti dengan perasaanku? Bagaimana kau tidak bisa membayangkan rasa sakit yang akan aku rasakan? Jika kau tidak dapat mengerti akan perasaanku, maka aku juga tidak dapat mengerti akan perasaanmu. Bahkan tidak akan ada satu pun wanita yang akan mengerti akan perasaanmu jika kau tidak dapat mengerti perasaan wanita lain" benar bukan? Aku benar bukan? Aku tidak mendengar sepatah kata pun dari bibirnya. Aku hanya mendengar suara pintu apartementku yang terbuka dan aku dapat menebaknya, ia pasti berjalan pergi keluar meninggalkan apartementku.

***** FLASH BACK – MODE OFF *****

Aku hanya duduk diam. Aku tidak percaya akan semuannya. Aku tidak melakukan kesalahan apapun. Kak Ali yang melakukannya, aku tidak melakukannya. Aku tahu karma itu berlaku, tapi mengapa aku yang merasakannya? Mengapa harus aku yang merasakan semua kesakitan ini? Mengapa bukan Kak Ali saja? Dia yang melakukannya.

"Salsha" tiba-tiba sajaaku mendengarkan suara Iqbaal dari sebelahku. Aku menoleh dan benar saja,Iqbaal sudah berdiri di sebelahku. Aku hanya menatapnya dalam diam, aku takbersuara. "Salsha, ada apa?" tanya Iqbaal dengan lembut. Aku menatap matanya. Tanpaaku sadari, air mata ini jatuh begitu saja. "Salsha, ada apa?" kembali Iqbaalbertanya. Namun aku tak sanggup berkata-kata, aku hanya diam menatapnya. Aku merasakantangannya menyentuh pipiku dengan lembut. Air mataku semakin lama semakinmengalir. Tangan kekar Iqbaal merangkul tubuhku. Aku merasakan pelukannya yangsangat hangat. Air mataku semakin banyak mengalir. "Maafkan aku" ucapku dalampelukkannya. Ucapku dalam tangis ini. Namun Iqbaal hanya diam, ia semakin eratmemelukku.

SURVIVE [REVISE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang