Kasih Sepanjang Masa

5 0 0
                                    

Aku membanting tas ke kasur merah polos di depanku. Disusul dengan badan yang rubuh bak pohon tumbang. Ingin rasanya segera memejamkan mata.

Hari ini melelahkan sekali. Kuliah sampai siang, rapat kepanitiaan malam keakraban, ditambah terakhir ada evaluasi kegiatan bakti sosial di sebuah desa tepi kota.

Aku cerita sedikit ya tentang acara kemarin..

Jadi, Setiap kepanitiaan aku selalu di bagian perlengkapan. Mencari alat, angkat-angkat, dan  mengembalikannya saat acara sudah berlangsung. Gampang sih, tidak ribet. Tidak perlu banyak mikir, hanya tenaga yang keluar lebih.

Tapi aku jengkel saja. Melihat kawan-kawan divisi lain yang tidak mau membantu.

Saat itu, barang-barang donasi sedang diturunkan dari mobil bak terbuka. Jumlahnya banyak, dan berat karena dus-dus berisi penuh buku. Aku dan timku baru saja mengangkat sound system & rangka terob. Baru istirahat sejenak langsung diminta angkat-angkat lagi. Mereka, yang masih belum mulai bertugas karena acara belum dimulai, hanya terbengong menonton sambil duduk-duduk di tepi panggung. Jadilah kami ngos-ngosan mengerjakan semuanya.

Saat evaluasi tadi, aku keluarkan segala unek-unekku dengan berapi-api. Aku mewakili suara hati timku yang lain. Aku tahu, kita sama-sama capek. Tapi aku susahnya meringankan beban divisi lain, kan? Lagipula kita berada dalam satu kepanitiaan. Tanggung jawab harusnya ada di pundak kita bersama.
Mereka mendengarkan dengan serius. Bahkan satu-dua ada yang menangis karena melihat aku yang begitu emosional. Biarlah, sekali-kali aku begini. Supaya jadi pembelajaran juga buat ke depannya.

"Bon, sudah makan belum?" Kepala bunda sudah nongol saja di muka pintu. Aku beranjak duduk.

"Belum, bun. Tapi Boni capek banget bun, pengen langsung tidur aja."

Bunda tersenyum. Seakan sedang menyiram panas di hati & pikiranku.

"Mbok ya makan dulu. Kamu pagi tadi juga gak sempat sarapan, kan? Nanti malah sakit, lho. Habis makan terus mandi ya, biar seger.."

Aku mengalah. Pikiran untuk langsung tidur kuurungkan. Kata-kata bunda bagai magnet, menarik diriku untuk menaatinya. Bunda memang paling tahu apa yang sedang dibutuhkan anaknya.

"Bun, capek gak sih masak mulu tiap hari?" Tanyaku ketika sudah berada di meja makan. Bunda ikut menemaniku makan.

Aku teringat Rani dan teman-teman divisi konsumsi lainnya. Mereka selama hampir 3 hari masak terus kerjaannya. Aku kadang-kadang ikut membantu. Rani suka bercerita, mengeluhkan temannya ada sebagian yang gak bisa masak. Jadilah dia yang lebih banyak bekerja.  Nah bunda? Hampir setiap waktu selalu masak untukku. Jadi aku sangat ingin bertanya.

"Sekarang bunda balik tanya. Kamu capek gak tiap hari bolak-balik dari rumah ke kampus?"

Untuk diketahui, jarak dari rumahku ke kampus sekitar 45 menit.

"Yaa awalnya capek sih, bun. Apalagi kalau udah macet. Ampuun deh! Tapi lama lama biasa aja.."

Bunda senyum.

"Nah, itu juga jawaban bunda. Awalnya ya capek. Tapi setelah udah biasa lama-lama gak capek. Bunda capek itu kalau kamu gak habisin makannya, atau disuruh makan malah pergi entah ke mana.."

Aku mengangguk-angguk sok paham. Kembali menyantap ayam goreng masakan bunda yang kelezatannya tiada tara.

Setelah dari kepanitiaan kemarin aku menyadari jika kita harus menghargai setiap kerjaan orang lain. Aku langsung teringat bunda.

Bunda bisa dibilang mengerjakan semuanya sendiri. Full time jadi ibu rumah tangga. Ayah kerja di luar kota, balik satu minggu sekali. Jika aku yang merasa berat gara-gara divisi perlengkapan. Bagaimana dengan bunda?

Bunda selama 20 tahun hidupku mengerjakan semua divisi. Menjadi divisi konsumsi dengan memasak setiap hari. Minimal 3 kali, belum jika aku minta makan saat tengah malam, atau ada acara yang membutuhkan banyak makanan. Bunda jadi divisi perlengkapan plus kebersihan. Memastikan seisi rumah dalam keadaan baik & bersih. Bunda jadi divisi acara, mengatur jalannya kegiatan saat aku ke kecil dulu. Menyuruh mandi, makan, belajar, tidur, dan lain sebagainya. Bunda jadi bendahara keluarga. Itu saja? Tidak, masih banyak lagi. Hanya saja aku nggak sanggup menuliskan semuanya. Itu baru aku ya. Belum untuk ayah, tentu lebih banyak lagi. Dan selama itu pula bunda gak pernah mengeluh sekalipun. Bunda juga akan mengerjakan hal-hal itu hingga aku sudah berpisah dengannya nanti.

Tak terasa air mata menitik di piring kosong. Aku segera mengusapnya. Kenapa aku jadi sentimentil begini sih? Aku tak mau bunda tahu, memutuskan segera pergi dari situ.

"Bun, aku mandi dulu yaa. Piringnya biar aku yang cuci.." Ujarku menawarkan.

Bunda agak terheran. Tumben sekali? Tapi akhirnya memberikan juga piringnya ke tanganku.

Beberapa hari kemudian. Aku baru tahu, malam itu, malam sebelum dan setelahnya. Bunda sengaja menungguiku makan. Tidak akan makan, sebelum aku makan.

Ah, bunda..

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 17, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Sayap-Sayap MalaikatWhere stories live. Discover now