Pelampiasan

6 0 0
                                    

Lagi-lagi terjadi. Guling mungkin menjadi pelampiasan yang baik untuk saat ini. Erat. Erat sekali tanganku melingkar di guling ini. Mata terpejam. Memutar kembali ingatan yang masih tersimpan utuh dalam memoriku. Ingatan yang ingin sekali kumusnahkan. Namun sia-sia. Tak ada hasilnya.

Aku tak kuasa lagi. Rindu ini slalu menjadi alasanku menitikkan air mata. Merenung dengan tatapan kosong tanpa arti. Terngiang jelas suaramu di telingaku. Kata-kata yang dulu pernah kamu katakan padaku, semuanya bagaikan direkam oleh otakku. Jelas. Aku jelas pernah mendengar semua kata-kata itu. Kata-kata yang seolah-olah dari hatimu. Namun ternyata perkiraanku salah. Itu semua hanya dari mulutmu. Tapi, ntah kenapa terkadang kamu meneteskan air mata ketika mengatakan kata-kata itu.

Menangis dalam diam, memeluk guling, menatap kosong langit-langit kamar, adalah hal yang aku lakukan setelah semua orang menjadi pelampiasan kelelahanku. Yang membuatku muak dengan lelah, ketika badan dan jiwaku lelah, pikiranku selalu tertuju pada : 55% kamu, 45% orangtuaku.

Dan aku selalu bersyukur mempunyai hati yang tidak terlalu bandel. Pelampiasannya hanya menangis. Dan bukan menangis yang meraung-raung seperti orang... ah, ntah orang apa itu. Berikan julukan sendiri. Ya, aku hanya menangis, meringis, tanpa suara. Bahkan orang" di sebelahku pun tak tahu bila aku menangis. Sehingga, hanya dengan menangis seperti itu, hatiku seperti melepaskan segenap bebannya.

Ketika ingin kuhentikan air mata ini, ntah, pikiranku malah memberi lampu hijau bagi air mataku. Mereka bertambah deras terjun dari mataku. Pikiran ku mengingat sesuatu yang membuat mataku mungkin terharu akan ingatannya. Pikiranku seakan memutar kembali apa saja yang dulu pernah kulakukan denganmu. Berusaha mengorek satu persatu kenangan itu. Dan aku teringat. Semua yang kulakukan bersamamu adalah kesalahan. Aku telah membuat Dia kecewa padaku.

Tak separah yang kalian kira. Aku bertemu dengannya baru 3 kali dalam 3 bulan. Itupun ntah bisa disebut "bertemu" atau tidak. Terpisah oleh fiber penutup antara tangga dan lantai 3. Tangga itu memang sengaja di tutup. Memisahkan batasan kaum adam dan hawa. Tidak, sekolahku bukan pondok. Bahkan jauh dari kata "ketat". Menurutku. Aturan memang dimana-mana, tapi masih cukup wajar.
Jadi? Apa itu bisa disebut pertemuan? Bahkan aku bersembunyi dibalik fiber itu, menyerahkan sesuatu, lalu pergi. Begitupun dengannya. Tanganku tak pernah menyentuhnya. Jangankan sentuh. Mataku saja tak sanggup menatap matanya.

Dia bukan seorang yang mahsyur, bukan pula juara sekolah -bahkan nilaiku jauh diatas nilainya-, bukan pula seorang yang memikat kaum hawa. Ia hanya seorang biasa yang sudah berhasil. Berhasil menerbangkan diri ini, lalu menghempaskannya tanpa sepatah katapun.

Ini kisahku.

RumitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang