Awal

2 0 0
                                    

Rutinitas hari minggu pagi, aku tak pernah berada di rumah antara jam 06.30 sampai mungkin jam 10.00. Waktunya menghirup udara segar pagi, berjalan, menikmati makanan-makanan ringan yang banyak dijual di tepi jalan itu. Bebas kendaraan. Ya, aku di car free day.

Jika biasanya hanya bersama adik", mama dan papa, kali ini bertambah satu orang yang amat sangat menyebalkan, namun sayang, aku menyayanginya. Sangat.

Dia Dewi. Terkadang musuh, terkadang menjelma menjadi orang yang paling kusayang. Suaranya,, beuh, dari lantai 3 sampai lantai 1, dari ujung sana ruang makan putra sampai ujung sini ruang makan putri, menggelegarrr, mengguncang dunia.
Aku tak tahu, apakah aku dengannya berjodoh, atau bagaimana. Namun, sesuatu yang lucu terjadi pada kita berdua.

3 tahun lalu...
Kita berdua adalah teman sekamar yang dipaksakan. Dulu. Ketika aku masih hidup di asrama. Aku tak betah di kamar pertamaku, faktor teman, hingga aku meminta untuk dipindahkan. Saat itu aku ditukar oleh salah satu teman sekamar Dewi. Sebenarnya Dewi marah. Bahkan membenciku saat itu. Dalam hati dia berkata (dia menceritakannya), "APASIH ORANG INI?! TEMANKU PERGI GARA-GARA DIA"
Lambat laun, aku mulai diterima di kamar itu. Ranjangku mepet tembok, bersanding dengan Dewi, kemudian ada Shafa, lalu paling pojok terakhir, ada Nashita.
Pulang sekolah adalah waktu kita berkumpul, berbagi cerita. Ranjang Shafa menjadi basecamp kami berempat. Kami adalah orang-orang pintar mencari tempat. Ranjang Shafa adalah ranjang terrapi. Hehe

"Eh, tadi aku ngelihat rombongan berempat itu!" Shita membuka obrolan.
"Sumpah? Dimana?" Dewi tak pernah tertinggal masalah begituan. Hobinya dia memang itu.
"Tadi, di bawah. Mereka berempat. Farros, Miqdad, Muflih, Fakhri. Ya kan, Shaf?"
"Iya, mereka tadi jalan berempat di koridor bawah" Shafa juga ikut akhirnya.
"ADA MIQDAD?" Menggelegarrrr
"Adaaaaaa,"
"Heh, kalian ngomongin itu, aku ga ngerti apa-apa. Pahamin dong 😑. Aku ga tau Farros yang mana, Muflih, Fakhri, Miqdad tu juga yang mana hah?" Sebal. Aku diam daritadi. Mereka heboh.
"Besok Bin, besok. Aku kasih tau Miqdad yang mana. Menurut aku, dia tercool seangkatan. Sumpah, kece banget," kusimpulkan Dewi suka  Miqdad. Aku hanya memutar bola mata, mengiyakan.
Berita pasaran. Sudah kudengar dimana-mana. Semua orang tau dia. Kecuali aku. Plonga-plongo mendengarkan orang-orang asyik membicarakannya. Dia Miqdad. Katanya, orang terkece seangkatan.

Esok harinya, Dewi benar-benar menepati janji.
Kala itu, lapangan basket ramai oleh penguasanya. Ya, putra. Tanpa diadu pun semua orang juga tahu, bahwa yang berhak menguasai lapangan adalah putra.
4 orang yang kudengar di cerita mereka kemarin katanya ada di sana. Diantara gerombolan itu.
"Bin, yang pakai kaos cokelat agak krem!" Bisik Dewi, semua orang juga bisa dengar.
"Itu? Miqdad?"
"Iya, ganteng gila ga si?"
"Lumayan sih. Yang itu?" Kutunjuk seorang dengan baju biru.
"Nah, itu Muflih"
"Oooo,, kalo itu?"
"Itu aku belum tau siapa namanya"
"Terus itu?"
"Itu Qudsy. Itu famous juga loh. Dia dari Kudus, barengannya Dian, Brina, Mona. Sebenernya Muflih juga Kudus sih, tapi dia beda sekolah katanya sama mereka berempat," Dewi seperti tau segalanya. Aku apakabar?
"Hmm,, itu itu, siapa?"
"Oh, itu Rahman,"
"Terakhir nih, itu siapa?"
"Yang itu tuh, Fakhri"
"Farros gaada?"
"Farros mah yang ituuu"
Yah, kita akhiri sesi tanya jawab sore itu. Aku tetap memperhatikan mereka. Berusaha menghapalkan wajah-wajah teman-temanku. Asal kalian tau, kita disitu diam-diam, bersembunyi, memperhatikan sekitar. Jika ada yang melihat, mampus kita. Sebenarnya bukan hobiku juga, tapi aku penasaran dengan mereka.

Terlalu berbahaya mengintip jangka panjang. Asrama sekolahku bukan asrama dengan batas ketat antara putra maupun putri. Kita masih hidup satu atap. Hanya saja beda lantai. Lantai 3 khusus kami bangsa Hawa, lantai 2 untuk jodoh kami. Mungkin.
Aurat adalah sesuatu yang wajib dijaga agar tidak terlihat kaum Adam yang tak ada hubungan darah. Perempuan adalah makhluk yang paling disusahkan untuk hal tersebut. Jika lelaki dibolehkan hanya menggunakan celana pendek yang menutupi pusar sampai lutut, berbeda dengan wanita yang harus berjubah dan berjilbab menjulur hingga menutupi dada. Belum lagi yang paling meribetkan. Kaos kaki. Huft...
Lantai 2 terbuka. Hanya dibatasi pagar besi yang ditujukan agar tidak ada yang terjun, mungkin.
Lantai 3 tak mungkin senasib dengan lantai 2, di kelilingi fiber plastik yang membuat asrama putri terlihat gelap, pengap, tak pernah mendapat asupan cahaya matahari. Sebenarnya juga tidak. Fiber itu tak sepenuhnya menutupi lantai 3. Sekitar 30cm dibawah plafon disisakan tanpa fiber. Tapi ntah, tetap terlihat gelap. Yah, lagi-lagi masalah aurat :"). Tabah.

Kejahilan anak-anak adalah hal yang biasa. Wajar. Apalagi puncak pubertas adalah ketika SMP-SMA. Ntah kebetulan atau bagaimana, aku dan teman-teman sekamar mendapatkan celah berupa lubang kecil untuk mengintip ke bawah. Tidak besar. Tak memungkinkan untuk memperlihatkan aurat. Hanya cukup sebelah mata yang berkelana.
Lubang itu tepat berada di fiber depan kamarku. Awalnya aku menganggap itu sebuah kecacatan produk, ternyata semua orang juga bisa membuatnya. Hanya dibutuhkan korek api untuk melelehkan plastik fiber itu.

Sore itu, Dewi di depan kamar, menempelkan diri pada fiber. Yah, semua orang juga tahu, dia sedang memperhatikan manusia-manusia di bawah.
"Heh, ngintip teros," aku langsung mendatanginya.
"Hehe, iya lah. Tu loh, manis,"
"Bodo amat. Gantian! Minggir!" Aku mengusirnya.
Dia berdecak, namun mengikuti apa kataku. Ia kembali ke kamar. Sedangkan aku, menggantikan posisi dewi. Hehe.

Sebelah mataku menyusuri lapangan basket dari ketinggian kurang lebih 15 meter. Namun tiba-tiba mataku berhenti. Menatap seseorang di antara kerumunan itu. Aku sudah tertarik sejak Dewi memperkenalkannya padaku kemarin. Tak lebih baik daripada Miqdad. Bahkan sangat jauh jika dibandingkan. Sebenarnya, aku tertarik dengan seorang Miqdad, tapi apadaya.
Rahman, orang kedua yang menarik perhatianku setelah Miqdad. Biasa saja. Jauh dari kata tampan. Putih juga tidak. Matanya sipit, tingginya tidak jauh berbeda denganku (aku tidak termasuk golongan orang tinggi maupun pendek), namun ia berhasil menarik perhatianku. Masalah prestasi, aku belum mengetahuinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 30, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RumitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang