Lampu bioksop sudah diredupkan. Tak lama teaser film yang akan segera tayang pun menyusul, tanda film kami akan segera dimulai. Sekejap setelahnya, terdengar suara efek khas film horor, diikuti dengan suara tawa yang membuat nyaliku ciut untuk membuka mata. Namun tak aku sangka, Gibran, cowok berkaca-mata itu tersenyum dan memegang erat tanganku sembari berkata, "Jangan takut, ya!". Ritme jantungku pun seketika berubah. Meskipun sama cepatnya, namun terasa sangat tidak beraturan, seolah ada perasaan yang tidak karuan, anehnya malah mampu membuatku tersenyum, from ear to ear.
Setelah cuplikan film horor itu berlalu, kali ini Gibran membuka pembicaraan
"Menurut kamu, ceritanya akan seru atau ngebosenin?"
"Aku rasa sih pasti seru! Jumlah penontonnnya udah 500 ribu, loh! Padahal masih baru dan belum seminggu", jawabku. Mencoba terlihat seperti penikmat film kawakan.
"Semoga, ya! Karena kalau kalau ngebosenin, lebih baik makan dibawah aja sama kamu", kata Gibran menggodaku.
Jujur, aku menaruh harapan besar pada film ini. Dengan genre cinta, film ini sukses menjadi topik pembicaraan di teman-teman sekolahku. Ditambah lagi dengan review ala kritikus film dari Adel yang menilai cerita film ini dari kualitas script-nya. Sisil, si cewek bule berambut pirang keturunan Belanda dan Manado yang telah ahli dalam dunia percintaan pun mendukung pendapat Adel.
"Sangat bagus untuk lo tonton sama Gibran. Karena mampu membuat calon gebetan peka dengan perasaan perempuan", kata Sisil.
Jadi, aku ikuti saran dari kedua sahabatku ini dan mengajak Gibran duluan, baik aku pertegas, DULUAN. Untungnya, ajakanku tidak ditolak olehnya. Dan akhirnya disinilah kami, sedang mencoba menjadi menjadi (calon) pasangan yang romantis.
Meskipun usia kami sama, 18 tahun, Gibran punya sifat yang lebih dewasa dariku. Mungkin saja karena ia yang terbiasa jauh dari orang tua sejak kecil, atau memang karena dia Sagitarius? Biasanya kan cowok Sagitarius itu lebih dewasa dari usia semestinya. Sangking dewasanya, ia tidak suka protes saat aku mengucapkan mantra-mantraku yaitu "Terserah kamu aja". Kalau dilihat dari cerita-ceritaku yang lalu saat dengan Andrew atau Bimo, mereka pasti sangat kesal mendengar perkataan itu. Tapi Gibran berbeda, ia merespon dengan tenang dan mengungkapkan berbagai usulan hingga akhirnya aku bilang ya atau oke.
Ia juga sangat pengertian saat aku benar-benar rindu, aku tau, ia sangat sibuk dengan persiapan tes untuk mengejar kampus di luar negeri. Apalagi mimpinya tidak main-main, kampus tempat para pekerja film Hollywood menuntut ilmu. Meskipun aku harap ia berhasil menggapai mimpinya, ada kegalauan yang selalu aku rasakan saat membayangkan akan pacaran Long Distance Relationship dengan dia.
"Alya, persiapanmu gimana untuk universitas? Jadi coba ambil fashion design di luar atau stay disini saja?", tanyanya.
"Aku lagi siapin motivation letter, sih! Due date-nya bulan depan. Semoga jadinya bagus. Kamu sendiri? Serius mau jadi sutradara?"
"Ya pasti dong,Alya! Itu impian aku dari dulu. Semoga nanti pas November aku bisa dapat kabar baik dari sana.", jawabnya.
Percakapan kami dimulai dengan basa-basi khas anak kelas XII, yakni tentang pendidikan dan mimpi-mimpi. Dilanjutkan dengan membahas film yang kami tonton dan cerita tentang teman-teman kami disekolah. Tak terasa jam menunjukan pukul sembilan malam. Gibran pun bergegas mengantarku kembali ke asrama.
"Makasih ya, buat hari ini. Aku seneng!", kataku malu-malu.
"Iya, sama-sama. Aku balik dulu ya, Alya. Good night!", jawabnya sambil memberikan lambaian padaku. Aku masih berdiri di depan pagar sembari mobil hitamnya berlalu melintasiku.
Sesampainya dikamar, dua sahabatku, Adel dan Sisil pun memberikan tatapan, seolah-olah menagih janji untuk bercerita
"Kepooo", jawabku.
"Yah gak asik lo, Al! Kita kan cuman pengen tau apakah saran gue berhasil untuk membuat Gibran peka, hehe"
"Iya, kita berdua cuman mau tau aja, kok! Apa lo sama dia ada progress atau begini begini aja. Ini kan demi kebaikan lo juga.Sekolah tinggal enam bulan lagi, loh! Pacarannya kapan kalau PDKT teruus?"
"Ya gak tau! Gue sih pinginnya dia nembak. Tapi kan, ya, mungkin dia belum suka kali ya sama gue. Jalanin aja kalau kata anak zaman sekarang, haha"
"Tapi apa penampilannya beda dari biasanya? Maksud gue, apa dia masih keliatan cuek atau sedikit rapih hari ini?", tanya Vivi penuh semangat
"Ada yang beda gak ya? Sepertinya biasa aja. Cuman pakai jaket aja sih. Dan keliatannya jadi lebih ganteeng! Hampir aja gue mau pingsan pas ketemuan didepan bioskop. Rambutnya juga ditata rapih sekali. Pakai pomade sepertinya"
"Wah, berarti ini kali ini dia lebih kece daripada biasanya ya? Apa karena cuman berdua aja sama lo kali? Biasanya kan ada gue atau Vivi"
"Bisa jadi!", kata Vivi
Iya sih, lebih rapih! Lebih wangi bahkan. Tapi, apa berarti dia suka sama gue? Obrolannya aja masih basa-basi. Apa gue terus lanjut sama Gibran atau gak ya?
YOU ARE READING
CINTA YANG JENAKA
RomanceDekat dengan cowok artistik seperti Gibran membuat tenaga dan fikiran Alya, cewek yang ambisius di bidang pendidikan ini, sangat terkuras. Meskipun begitu, Alya tidak bisa menyerah dengan sosok Gibran yang cool namun misterius itu. Ditambah lagi, Gi...