Klub Membaca

34 2 6
                                    

"Spada... I'm coming..." teriak Anto saat dia memasuki halaman belakang rumah Retno.

Ella, Nathan, Ikhwan, dan Wulan yang sedang asyik membaca buku di atas tikar yang digelar Retno mendongakkan kepalanya.

"Hai... hai...," sapa Retno yang keluar dari pintu rumahnya membawa nampan berisi pitcher dan cangkir. "Silakan... Mau bergabung dengan mereka, silakan. Atau mau bantu aku mengeluarkan makanan juga boleh."

"Ini beneran klub membaca, ya? Sepi amat," komentar Anto sambil tertawa. Dia meletakkan tas punggung yang dibawanya di sebelah Nathan dan melepas jaket yang dikenakannya.

"Sama kamu ni serba salah, deh," celetuk Ella sambil mengibaskan rambutnya yang terurai sepunggung. "Kita lagi bahas makanan dibilang klub pengunyah, kita sibuk ngomongin orang dibilang klub rumpi, sekarang kita lagi baca buku dibilangnya sepi."

"Tau, nih," sahut Wulan segera. "Rempong banget jadi cowok."

Mereka kemudian meletakkan buku mereka masing-masing dan ikut terlibat dalam percandaan yang hangat sampai Retno keluar dengan piring terakhirnya, mengucapkan kata sambutan pada mereka semua, dan menyampaikan agenda pertemuan mereka sore itu.

***

Bekasi Readers Club adalah komunitas membaca yang sudah berjalan selama 1 tahun. Awalnya, Ella dan Retno terlibat dalam diskusi seru di sebuah blog yang membahas kumpulan cerpen Sarapan Pagi Penuh Dusta yang ditulis oleh Puthut EA. Setelahnya, mereka bertemu di acara bedah buku Jakarta Sebelum Pagi di perpustakaan daerah DKI Jakarta. Setelah pertemuan itu, Ella dan Retno saling berkunjung pada hari Sabtu atau Minggu untuk saling meminjam buku atau mengobrol tentang buku. Pertemuan-pertemuan berikutnya, mereka tidak hanya berdua. Ella mengajak Nathan dan Retno mengajak Wulan. Lalu Wulan mengajak Ikhwan dan Anto. Dan seterusnya.

Satu pertemuan di rumah Ella, mereka bisa mencapai 15 orang yang datang. Mereka riuh dalam diskusi buku serial Bliss Bakery. Saat itu, Ella sebagai tuan rumah kelimpungan mencari jamuan. Namun seringnya, mereka berkumpul hanya berenam dan tetap menjalankan agenda yang telah mereka rencanakan.

Pertemuan mereka tidak melulu tentang buku. Beberapa kali mereka bertemu di kedai yang nyaman untuk berdiskusi dan makanannya direkomendasikan oleh foodblogger. Beberapa pertemuan, mereka tidak membahas buku tapi membahas isu yang sedang ramai dibicarakan oleh orang-orang. Namun yang pasti, Ella, Nathan, Retno, Wulan, Anto, dan Ikhwan, bersahabat karena buku.

***

"Ini kita cuma berenam lagi?" tanya Wulan.

"Sepertinya," jawab Ella. Dia kemudian melihat jam tangannya. "Ini sudah lewat 1 jam dari waktu yang seharusnya. Sebaiknya kita lanjut saja."

"Oke," kata Retno. "Sekarang, siapa yang mau bercerita tentang buku Maryam karya Okky Madasari? Udah pada selesai baca semua, kan?"

Ella membuka buku catatannya. Nathan dan Ikhwan mengambil ponselnya dan membukanya.

"Pertama gue mau berbagi pengalaman dulu tentang membaca kali ini," kata Nathan. Tangan kanannya menggenggam ponsel pintarnya dengan jempol yang bergerak-gerak pada layar ponsel sedangkan matanya beredar di antara kelima temannya. "Ini pertama kalinya gue baca buku lewat perpustakaan digital. Gue baca lewat iPusnas. Dan itu rasanya ya Lord... Gue pingin periksa mata lagi."

"Lebay, lo!" sahut Ikhwan. "Gue juga baca di iPusnas. Dan gue baik-baik aja. Baca caption Instagram aja betah, kok. Masak baca buku ngeluh."

"Ya tapi, kan..."

Nathan hendak membela diri. Namun secepat itu, Ella segera mengembalikan diskusi mereka ke jalur yang benar.

"Aku suka cara penulisnya menggambarkan tempat," kata Ella. "Terasa sekali suasananya. Dan terasa sekali kalau itu kejadian ada di Lombok. Bukan di tempat lain."

"Setuju," kata Wulan. "Ngomong-ngomong, ini kisah nyata bukan, sih? Aku googling, ternyata sampai sekarang masih ada lho, orang-orang Ahmadiyah yang menjadi pengungsi."

"Ini cerita fiksi," kata Retno. "Tapi diangkat dari kisah nyata. Kita bisa membaca di ucapan terima kasihnya, penulis mengatakan terima kasih pada seseorang atas ceritanya."

Wulan mengangguk-anggukkan kepalanya.

Mereka meneruskan diskusi tentang buku berjudul Maryam itu selama lebih dari 2 jam. Setelah itu, Ella membuat catatan tentang pertemuan mereka hari ini untuk dipublikasi di sosial media. Mereka sudah sepakat buku apa yang akan mereka bahas minggu depan dan dimana mereka akan bertemu.

Saat mereka sedang berkemas, tiba-tiba Ella menyeletuk, "kalau kita membaca untuk orang lain juga bagaimana?"

Kelima kawannya terdiam.

"Maksud kamu, kita membacakan dongeng untuk seseorang?" tanya Wulan memastikan ucapan Ella.

"Bisa," kata Ella. "Kan gerakan literasi sedang semarak akhir-akhir ini. Ya kita sebagai klub baca ikut meramaikan. Kita bisa datang ke taman baca atau perpustakaan komunitas dan melakukan kegiatan bersama dengan mereka. Kayaknya seru, deh."

"Ya ampun, La," keluh Anto. "Nanti pasti repot dan ribet, deh. Kita kolaborasi di taman baca atau perpustakaan komunitas gitu biasanya kita yang banyak modal, kita yang repot, tapi mereka yang dapet nama."

"Kamu masih mikirin nama, To?" tanya Ella.

"Maksud Anto tidak seperti yang kamu pikir, La," potong Wulan sebelum Ella naik pitam. "Tapi memang seringnya seperti itu. Kerepotan pertama yang harus kita lalui adalah memilih tempat untuk berkegiatan seperti yang kamu mau. Kalau tidak, kita akan bertemu dengan orang-orang yang tidak tahu terima kasih dan membuat kita dongkol."

"Gini aja," sahut Nathan. "Gue punya kenalan yang terlibat dalam beberapa kegiatan di Forum Taman Baca Masyarakat. Kalau lo mau, La, kita bisa ketemu orang itu dan memikirkan lagi rencana, lo."

Ella memperhatikan Nathan sedemikian rupa. Selama itu, tidak ada orang yang bersuara dari keenam orang itu.

"Gue ikut, Than," kata Anto. Wulan, Retno, dan Ikhwan mengangguk tanda setuju.

"Ya udah, boleh deh," kata Ella pada akhirnya.

"Oke, ntar gue kabarin kapan bisa ketemunya, yah," ujar Nathan.

Buku-buku yang Hilang  #GrasindoStoryIncWhere stories live. Discover now