Retno menurunkan kaca jendela mobil. Di sampingnya, ada Ella yang memegang kemudi. Di belakang, ada Wulan yang sibuk dengan ponselnya. Mobil itu berhenti di depan sebuah rumah dengan spanduk besar di depannya yang bertulis 'Rumah Baca Capung Pintar'. Pintu pagarnya berwarna hijau tua tertutup rapat.
"Sepi banget rumahnya, El," kata Retno.
"Ibu pengelolanya sedang ke supermarket sebentar, katanya. Belum balik, kali," kata Ella menoleh ke jendela yang dibuka oleh Retno.
"Ya udah kita tunggu aja di sini," kata Retno.
Dia lalu mengambil buku novel dari dalam tasnya dan tenggelam dalam bacaannya. Menyusul Wulan yang sudah terlebih dahulu tenggelam dalam dunia ponselnya. Ella menggelengkan kepalanya dan ikut tertunduk menekuni ponselnya. Tak berapa lama, Wulan membuka suara.
"Ngomong-ngomong, minggu lalu itu Anto beneran nembak cewek?" tanyanya sambil melihat kaca depan yang memantulkan wajah kawan-kawannya.
"Nggak tahu," sahut Retno tanpa mengalihkan matanya dari bukunya.
"Emang kenapa, Lan?" tanya Ella.
"Kepo aja, sih," jawab Wulan sambil mengangkat bahu.
Ella mencubit bibir bawahnya. Dia teringat percakapannya dengan Anto melalui aplikasi WA minggu lalu setelah pertemuan di rumah Wulan.
Marcella : Anto...
Marcella : Kamu kemana nggak ikut kumpul?
Antonius : [mengirim gambar]
Antonius : Nemenin nyokap belanja L
Marcella : Lah, dia sedih. Bahagia donk, kalo nemenin nyokap. Bisa minta jajan.
Antonius : Kata nyokap gue nggak ada jajan-jajanan T_T
Antonius : Padahal ini dari jam 3. Udah hampir 4 jam masih belum ada tanda-tanda mau kelar.
Marcella : Semangat Kakak ^^
Antonius : Lo tumben nanyain gue. Kangen ya? Gue juga :-*
Marcella : Je Ii Je Ii Ka
Secara fisik, tidak ada yang salah dengan Anto. Postur tubuhnya tinggi dan tegap. Tidak kurus, tapi juga tidak gemuk. Badannya cukup berisi. Kulitnya putih bersih dan kornea matanya hitam seperti biji kelengkeng. Sayangnya, menurut Ella, Anto suka bercanda yang aneh. Hal tersebut membuat dia tidak nyaman tapi rindu.
Tak lama, sebuah motor dengan pengendara berjaket hijau dan berhelm hitam berhenti di depan mobil mereka. Tepat di depan pintu masuk rumah berpagar hijau. Seorang perempuan tua berkerudung hijau dan mengenakan helm hijau turun dari motor tersebut.
"Itu Ibu Pengelolanya, El?" tanya Retno.
"Iya, kali," jawab Ella sambil memasukkan ponsel dalam tasnya. "Turun, yuk!"
Ella kemudian turun dari mobilnya diikuti Retno dan Wulan. Mereka bertiga menghampiri ibu berkerudung hijau yang sedang sibuk membuka kunci gembok pintunya.
"Ibu Syam?" sapa Ella.
Ibu berkerudung hijau mendongakkan kepalanya dan menatap lekat wajah Ella.
"Saya Ella, dari Bekasi Readers Club. Yang menghubungi ibu untuk berkunjung ke sini," terang Ella sambil tersenyum. "Ini kedua kawan saya. Retno dan Wulan."
Retno dan Wulan, yang berdiri di belakang Ella tersenyum. Ibu Syam mengembangkan senyumnya. Dia kemudian menyalami Ella, Retno, dan Wulan.
"Mari masuk, Nak," ajak Bu Syam.
Ella, Retno, dan Wulan memasuki pintu pagar hijau yang telah dibuka oleh Bu Syam. Di dalamnya, ada garasi mobil yang disulap menjadi sebuah perpustakaan kecil. Tiga sisi tembok ditempeli rak buku yang berisi penuh. Di tengah ruangan terdapat karpet dan meja kecil.
"Maaf tempatnya sempit begini," kata Bu Syam.
"Tidak apa-apa, Bu," kata Ella sambil duduk. Matanya beredar menatap buku-buku yang tersusun rapi.
"Ini sekadar untuk menemani kita ngobrol," kata Bu Syam yang sedang duduk dan meletakkan setoples kue kering dan 4 gelas air mineral di meja. "Ibu tidak punya apa-apa."
"Tidak apa-apa, Bu," jawab Wulan. "Maaf kami merepotkan."
"Ah, tidak," kata Bu Syam. "Saya senang ada yang mau datang berkunjung."
Mereka pun mulai mengobrol tentang kegiatan Bu Syam di Rumah Baca Capung Pintar. Bu Syam, sebagai pemilik dan pengelola melakukan semua kegiatan yang ada di Rumah Baca Capung Pintar seorang diri. Beliau membeli buku-buku, mengelompokkannya, melabelinya, dan memajangnya. Rumah Baca Capung Pintar buka pada hari Jumat sampai dengan Selasa. Pada hari Rabu dan Kamis tutup karena itu adalah waktu untuk Bu Syam berkegiatan di luar rumah. Untuk sekadar jalan-jalan, atau bertemu dengan kawan. Beliau juga mendampingi pengunjung dalam membaca. Rumah Baca Capung Pintar ini adalah perpustakaan khusus anak-anak. Bu Syam mengarahkan anak-anak supaya mereka terampil membaca dan, kalau sudah bisa, bacaan mereka lebih variatif.
"Wah, menarik sekali, Bu," seru Retno. "Berarti, selain menyediakan perpustakaan, ibu juga mengajari anak-anak untuk membaca, ya?"
"Saya berusaha menumbuhkan dan mengembangkan minat anak-anak terhadap membaca," kata Bu Syam. "Kebanyakan anak yang datang ke Rumah Baca Capung Pintar, awalnya karena mereka mendapat tugas membaca dari gurunya namun mereka tidak punya buku. Lalu mereka membaca buku di sini untuk dibuat laporannya. Tapi sepertinya, anak-anak itu membaca hanya untuk menyelesaikan tugas, dan gurunya juga hanya sekadar memberi tugas. Sehingga, saya kemudian memberi intervensi. Kalau anak yang sudah kelas 4 SD ya saya minta untuk membaca cerita pahlawan atau buku-buku komik sains. Ya masak anak kelas 4 SD membaca Little Rabbit yang sehalaman cuma ada 2 kalimat selebihnya gambar?"
"Memangnya salah, ya?" celetuk Wulan.
Ella dan Retno segera menolehkan kepala dan mengerutkan dahi sambil menatap Wulan. Bu Syam tersenyum melihat tingkah para tamunya.
"Kamu pernah baca Little Rabbit belum?" tanya Ella.
Wulan kemudian bangkit dan mengambil buku berjudul Little Rabbit yang dipajang di lemari belakang tempatnya duduk.
"Ini, kan?" tanyanya sambil menunjukkan sebuah buku yang ada gambar kelinci bersepeda di sampulnya.
"Aku kelas 4 SD itu membaca serial cerita rakyat yang sudah tidak ada gambarnya, lho," kata Ella.
"Aku juga sama Mama dibeliinnya buku fantasi karya Roal Dahl. Kayak Matilda atau Danny the World Champion," tambah Retno.
"Tidak salah anak kelas 4 SD membaca Little Rabbit," kata Bu Syam. "Tapi seharusnya tidak dimasukkan dalam laporan. Buku Little Rabbit itu peruntukannya anak yang baru bisa membaca. Kalau anak kelas 4 SD seharusnya kan pemahamannya lebih kompleks daripada itu. Buat saya, yang selalu saya terapkan pada anak-anak, membaca itu proses pengembangan diri. Kalau anak kelas 4 SD masih baca Little Rabbit, bagaimana mereka mau berkembang?"
Wulan menganggukkan kepalanya.
"Baiklah, saya mengerti," kata Wulan. "Tapi dari sisi anak sendiri, apakah mereka mau diberi intervensi oleh ibu? Maksud saya, kalau saya jadi anak-anak, akan kepikiran oleh saya untuk berkata, 'sama Bu Guru aja boleh baca apa aja, kok.'"
"Sebagian besar anak untungnya mengerti saat saya arahkan," jawab Bu Syam sambil tertawa. "Tapi pointnya adalah bagaimana pendekatan kita pada anak-anak. Itu yang penting. Bagaimana itu? Misalnya ada anak kelas 4 SD, dia datang ke sini mau membaca buku. Ada pendekatan pribadi yang saya lakukan. Kita berbincang tentang hobi dia, makanan kesukaan dia, atau dia tertarik pada apa. Misalnya dia suka dengan mobil-mobilan. Maka saya akan menawarkan buku pengetahuan tentang otomotif. Buku Kendaraan Keren itu, misalnya."
Bu Syam menunjukkan buku yang terpajang di rak yang terletak di belakang Wulan. Sontak, ketiga tamu Bu Syam menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Bu Syam. Kemudian mereka kembali ke posisinya masing-masing dan mengangguk tanda mengerti.
"Najwa Shihab kan bilang, 'cuma perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca'," kata Bu Syam. "Jadi ya mari kita kenalkan anak-anak ini dengan bacaan yang bisa membuat mereka jatuh cinta."
YOU ARE READING
Buku-buku yang Hilang #GrasindoStoryInc
General FictionElla dan kelima temannya di Bekasi Reader Club berencana untuk berkolaborasi dengan perpustakaan komunitas untuk mengadakan kegiatan literasi bersama. Sayangnya, banyak perpustakaan komunitas yang memiliki semangat berbeda dengan Ella dan kelima tem...