Suara berisik terdengar dari entakan lantai di koridor fakultas, meninggalkan jejak sepatu basah yang enggan untuk cepat mengering. Gerimis di luar sana menebarkan aroma basah bumi, suara rintiknya bersahutan dengan decakan kagum yang keluar dari bibir beberapa mahasiswi di ujung koridor.
"Ada apaan sih, Ris, ribut bener?" tanya seorang cewek berkacamata yang tengah memandangi keributan.
"Gak tau, dosen cakep kali."
Gadis disampingnya mengangkat bahu, merasa enggan untuk ikut andil dalam antusiasme yang terjadi di fakultas.
"Eh, Risa, Hani ...! Sini, cepet!"
Seruan salah seorang gadis di antara keributan itu mengalihkan perhatian Risa dan Hani. Mereka berjalan pelan menuju kerumunan beberapa mahasiswi bagai mengelukan pangeran yang datang dari negeri kayangan.
"Lo ngapain ikut desakan di sini, Ma?" Hani bertanya skeptis. Dia mengetahui bahwa temannya satu ini agak anti dengan keramaian.
"Kalian liat deh, itu dosen cakep bener! Mukanya oriental gitu," ucap Rahma yang sedari tadi tak meloloskan pandangannya dari meja resepsionis.
Risa berdecak sebal, tebakannya memang benar. Apa lagi yang membuat euforia mahasiswi selain pemandangan dosen tampan. Meskipun begitu, dia tetap mengarahkan matanya ke meja resepsionis, Hani pun mengikuti arah pandangnya meski ada beberapa kepala yang menghalangi tatapan mereka di depan, Risa masih bisa menangkap sedikit wajah dosen itu dari samping.
Seketika mulut Risa menganga, alisnya menukik tajam, merasa tak percaya memandang seorang dosen yang mendadak digilai keberadannya. Melihat perubahan raut wajah sahabatnya, Hani mencoba berjinjit, pasalnya ia memiliki postur tubuh yang tak seberapa tinggi dibanding Risa dan kepala-kepala yang menghalangi di depannya.
Hani menyelipkan kepalanya di antara kerumunan itu, "Misi ... liat bentar." Begitu matanya berhasil menangkap sosok dosen yang sedang diincar, ekspresi Hani tak kalah terkejut dengan Risa. Ia menatap Risa dan dosen itu bergantian.
"Ris ...." Ucapan Hani menggantung begitu saja, ia tak tahu harus memulai percakapan seperti apa dengan Risa begitu tahu obyek pandangannya tak terlepas dari sosok dosen berwajah oriental tersebut.
Ada beberapa pertanyaan yang menyerbu benak Risa saat ini. Hal itu tak mudah ia ucapkan meski Hani yang notabene sahabatnya berada disampingnya.
Kenapa dia kembali?
Dia tak pernah memikirkan kedatangan pria itu setelah kepergiannya tanpa jejak.
Karena terlalu lama terpaku di tempat, Risa tak menyadari bahwa dosen muda itu telah beranjak dari resepsionis menuju kerumunan dimana Risa berdiri bersama dengan seorang satpam.
"Hei ... hei, ada apaan ini? Gak liat lantai jadi licin karena sepatu kalian? Kalo ada yang kepeleset, siapa tanggungjawab?" Satpam itu berujar dengan pertanyaan beruntun, membuat beberapa mahasiswi yang awalnya berkerumun itu menjadi berurai ke beberapa tempat menghindari tatapan melotot dari sekuriti kampus.
Keramaian itu telah resmi dibubarkan, menyisakan Risa dan kedua kawannya yang masih berdiri di tempat, Rahma memandang dosen muda itu dengan tatapan memuja.
Bola mata hazel sang dosen bergulir ke arah Risa. Mereka tak saling menatap, Risa masih terdiam dengan mata mengerling ke kiri, dia tak ingin melakukan kontak mata dengan dosen tersebut.
"Apa kalian tidak ada kelas pagi?"
Suara bariton itu benar-benar membuat bulu kuduk Risa meremang. Dia merasa tersedot oleh suara khas milik guru yang pernah ia kagumi diam-diam. Tampaknya Risa tak berniat menanggapi pertanyaan laki-laki berparas tampan itu, namun lain halnya dengan Rahma yang menggebu ingin membuka mulut.
"Tidak ada, pak. Kami hanya ingin melihat bapak tadi."
Sungguh hal yang paling disialkan oleh Risa dan Hani adalah kejujuran Rahma. Risa bisa mendengar dengkusan geli dari laki-laki itu.
"Wah, kebetulan sekali. Di kelas siang nanti, kita pasti bertemu."
Mata hazel itu sengaja melirik Risa, ingin melihat reaksi gadis yang cenderung membisu sejak kedatangannya. Namun, apa yang didapatkan justru tak sesuai harapan, Risa masih dengan wajah tak acuhnya menggandeng Hani dan Rahma pergi.
"Maaf, tapi kami masih ada urusan. Permisi." Tanpa menanggalkan kesopanan, Risa pergi begitu saja bersama dengan kedua temannya yang secara sengaja ia tarik menjauh.
Mulai detik ini, Meirisa Azmi, merasa tengah dipermainkan oleh takdir. Disebut permainan atau tidak, hal ini benar-benar membuat situasi Risa semakin rumit.
.
.
.
to be continued
Karya ini dipersembahkan untuk ikut meramaikan event #GrasindoStoryInc
Ini akan menjadi karya original saya yang pertama :)
Salam,
Rossi Dania
15-11-'18
YOU ARE READING
Ikatan
RomanceTuhan tak pernah mempermainkan takdir seseorang, karena Dia telah menggariskannya dengan sempurna. Pun pertemuan antara Risa dan seorang dosen muda yang pernah menjadi masa lalunya. Namun, dibalik pertemuan itu, tersingkap sebuah kenyataan yang bena...