Satu-satunya

76 18 2
                                    

Aku memandang matahari senja yang juga memandang ke arahku seakan enggan pergi tanpa memberiku kesan mendalam. Aku pun mengalihkan pandanganku yang akhirnya jatuh pada sepasang anak kecil yang sedang bermain pasir di tepi pantai. Sesekali ku potret mereka dengan kamera yang menggantung pada leherku. Setelah melihat hasil potretanku tiba-tiba saja satu ingatan masuk ke dalam pikiran ku. Kala itu, tahun pertamaku di sekolah dasar.

***

Seorang anak laki-laki bermata hazel tersenyum sambil mengulurkan tangannya padaku.

"Hai, namaku Athalla" ucapnya.

Aku pun tersenyum tipis. Sambil membalas uluran tangannya.

"Rylie" ucapku.

"Udah tau" ucapnya lalu kembali ke tempat duduknya.

"Jelas-jelas dia yang mengajakku berkenalan tadi" gerutuku yang mungkin tak terdengar jelas olehnya.

Ya, dia adalah teman sekelasku. Kesan pertamaku tentang Athalla adalah menyebalkan. Tapi dia berbeda dengan teman sekelasku yang lain. Dia selalu menyendiri dan tidak lupa kamera yang selalu tergantung di lehernya. Aku heran, ketika kebanyakan anak seusiaku tidak tahu-menahu tentang kamera -bahkan tidak tahu jika benda itu bernama kamera- dia malah dengan lihainya mengoperasikan kamera. Tanpaku sadari aku selalu memerhatikannya.

Saat pelajaran olahraga, anak-anak diperintahkan untuk ke lapangan yang terletak tidak jauh dari sekolah. Sebuah lapangan dengan hamparan rumput yang hijau, jika kita berdiri ke arah jam 12 maka akan terlihat sungai yang cukup jernih.

Sesekali aku melirik ke arah Athalla yang sama sekali tidak tertarik dengan apa yang di bicarakan sang guru. Tak lama Athalla pun melirik ke arah ku. Pandangan kami bertemu, dia berbicara kepadaku lewat gerakan mulut tanpa suara.

"ikut aku yuk!" ajaknya.

"kemana?" ucapku yang juga hanya dengan gerakan mulut.

***

Disinilah kami, terbaring di tepi sungai sambil menatap langit. Athalla memotret langit yang cerah itu. Sepertinya dari awal dia sudah berniat untuk bolos pelajaran olahraga. Lihat saja dia membawa kameranya saat pelajaran olahraga, yang benar saja. Tapi aku penasaran kenapa dia selalu membawa kameranya kemana pun. Tak lama Athalla angkat bicara.

"Ini adalah kamera peninggalan ayahku. Dia seorang fotografer, dia juga yang mengajarkan ku memotret. Saat itu, dia dimintai temannya untuk memotret. Lalu, dalam perjalanan menuju lokasi pemotretan ayahku mengalami kecelakaan dan nyawanya tidak bisa ditolong lagi" ucapnya.

Aku pun cukup terkejut mendengarnya. Tenyata ini yang menjadikannya pendiam dan tidak se-bersemangat seperti murid lainnya. Jujur saja, itu merupakan kalimat terpanjang yang pernah Athalla ucapkan, saat di kelas dia tidak pernah berbicara sama sekali jika tidak ditanya.

Dia juga menceritakan tentang cita-citanya menjadi seorang fotografer seperti ayahnya. Tetapi, ibunya melarangnya, karena takut jika Athalla bernasib sama seperti ayahnya. Ia terlihat sedih saat menceritakannya. Aku pun berusaha menganti topik pembicaraan.

"Boleh pinjam kameranya?" tanya ku.

Dia mengangguk, lalu memberikan kameranya. Aku mencobanya. Saat aku sudah cukup bisa mengoperasikannya, Aku pun mengarahkan lensanya ke arah Athalla yang sedang melihat sungai.

"Lihat! Baguskan?" ucapku sambil menunjukan hasil potretanku.

"Jelek! Apanya coba yang bagus" komentarnya.

Sebuah PotretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang