x

35 7 0
                                    

Kembali ku tengok bayangan remaja laki-laki berpenampilan rapi di cermin panjang yang kutaruh tepat di samping ranjang berseprai hitam, rambutnya disisir kebelakang menyerupai Sang Raja Rock N Roll, Elvis Presley, setelan serba hitam juga melekat pas di badannya. Itu cerminanku, tentu saja.

Aku mengutip dasi berwarna perak dari atas ranjang lalu kukenakan di sela kerah kemeja hitamku, membuat dasi itu terlihat sangat mencolok. Setelah kurasa penampilanku sudah pantas, aku pun keluar dari kamar untuk mengenakan sepatu dan berpamitan pada Mamaku.

"Abe pergi dulu, Ma." Ucapku, lalu mencium tangannya.

Mama memberi kunci mobilnya padaku. "Jangan balik malam-malam."

Aku nyengir, lalu masuk ke mobil.

Jumat malam seperti ini sudah biasa ku habiskan bersama teman-temanku. Ya, tepatnya bersama teman-teman juga teman baruku. Setiap malam Sabtu, temanku, Adrian, pasti mengadakan pesta topeng di rumahnya. Biasa lah, karena ia tinggal sendirian disini jadi ia sering mengundang teman-temannya ke rumah milik orangtuanya yang luas itu.

Tak perlu makan waktu lama untukku menemukan rumah Adrian yang terletak di tengah perumahan yang sepi, hanya rumahnya saja yang bersinar terang di antara rumah-rumah lain yang terlihat tenang.

Terdengar suara beberapa perempuan yang mengagumiku, menyebut-nyebut namaku ketika aku melangkah masuk kedalam rumah Adrian yang didominasi warna abu-abu itu. Aku sudah biasa mendengarnya, tidak jarang juga perempuan-perempuan di sekolah mengerumuniku. Ralat: perempuan dimanapun aku berada. Memang tidak mudah menjadi laki-laki setampan diriku.

Aku menyapa teman-temanku yang sedang mengobrol di samping patung Dewa Zeus. Semua temanku mengenakan dress code yang sepadan jadi aku dapat mengenalinya dengan baik.

"Kok lo pakai baju hitam-hitam sih, Be?" Tanya Vincent.

"Namanya juga Abraham, pasti ada aja yang nyentrik." Ujar Sara.

"Tau nih, disuruh baju putih malah hitam-hitam seperti ini." Jawab Vincent menggeleng-geleng.

Sara mengernyit, seperti ada yang kurang dari penampilanku ini. Ekspresinya menyadarkanku, aku lupa pakai topeng.

"Topeng lo kemana, Be?" Tembak Adrian seraya menghampiriku.

Aku nyengir seraya menggaruk kepalaku yang sama sekali tidak gatal. "Lupa."

"Ya sudah." Ucap Adrian, lalu memberi setiap orang selembar kertas berisi beberapa sticker. "Malam ini kita main sticker stalker."

Biarkan aku menjelaskan sedikit mengenai permainan ini. Sticker stalker sepertinya salah satu permainan yang dibuat-buat oleh Adrian, tetapi tak apa selagi permainan ini menyenangkan.

Dalam permainan ini, setiap orang di rumah akan diberi selembar sticker yang nantinya akan dituliskan nama. Nah, diam-diam setiap orang harus menempelkan sticker mereka ke orang lain hingga habis. Orang yang stickernya habis akan diberi imbalan, dan orang yang ditempeli paling banyak sticker tentunya akan diberi hukuman. Sesimpel itu saja.

Malam itu kami habiskan dengan beberapa aktifitas menyenangkan: karaoke, berenang, bermain bola bekel, apa saja yang bisa kau pikirkan sudah kami lakukan.

Akan tetapi, acara setiap malam sabtu seperti ini selalu ada puncaknya. Tentu saja, puncak dari permainan sticker stalker yang tadi kami mainkan.

"Gue pasti menang nih! Habis!" Ucapku memamerkan lembaran kertas di tanganku yang sudah tidak ada sticker satu pun.

Entah SiapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang