MATI RASA

424 30 4
                                    

Ku ucapkan terimakasih untukmu yang telah memberi cerita di perjalanan ini. Sebab kini, kenangmu menjadi arti bagi sakitku.

Langit senja menjadi saksi dua insan yang pernah saling mengungkapkan isi hatinya. Kini, mereka murka akan janji itu. Mereka musnahkan semua hal yang pernah menjadi impian. Tawa, ceria, bahagia, bahkan doa-doa yang telah dilantukan kini hanya menjadi pelengkap kenangan.

Apakah kau tahu? Mengapa kita begitu cepat membuat janji ? Lalu begitu cepat ingkar janji ? Ego kitalah yang membakar semua kebahagian ini. Maka dari itu, jangan pernah mengambil keputusan disaat sedang senang-senangnya, dan jangan juga mengambil keputusan disaat sedang emosi-emosinya.

Kau tahu, apa hobiku sekarang setelah kau pergi? Nah itu, pura pura tersenyum. Perlahan aku menyadari cepat atau lambat aku akan terbiasa dengan semua ini. Khayalanku dulu yang sempat memikirkan punya rumah bersama, tinggal di sebuah desa, bercocok tanam, lalu menggembala sapi yang kita miliki hanyalah sebuah kebohongan fikiran belaka. Sebab, aku memikirkan itu disaat kita sedang bersama. Kini, kita sudah tak lagi bersama. Lantas apa yang sedang kita fikirkan? Apa ? Oh iya,  cara untuk melupakan bahwa kita pernah menjadi bagian atas kepulangan.

Sejak itu, kita sempat berdiskusi untuk menentukan sikap apa yang harus kita siapkan kembali. Aku berpesan "bukan masanya untuk melihat siapa yang lebih dulu berjuang. Tapi, bagaimana caranya kita sama sama berjuang untuk memperbaiki".

Sepertinya sia-sia, usahaku dan usahamu hanya setengah-setengah. Kau tahu ! Sempat lebam dadaku dibuatmu, terisak tangisku tiada merdu berbalut sendu. Ini yang kau ciptakan ! Rasa sakit yang entah harus dibagi kepada siapa. Setiap senyum yang aku lakukan, setiap gelak tawa yang aku perlihatkan. Semata-mata hanya untuk mengobati luka yang kau semayamkan.
Tidak, tidak, tidak. Aku tak menyalahkanmu  saja atas kepunahan batin ini. Mungkin saja waktu itu, aku sempat melewatkan hal yang terburuk dan aku tak bisa meredamu di pelukku. Hingga kau sudah dinyamankan oleh pelukan lain.

Aku merindukan kita yang dulu, saat semuanya terasa dekat tiada penghalang
Sekarang semua hanya kenangan, kau dan aku bagai orang yang mati tertelan ilalang
Senja yang menguning, membuatmu yakin bahwa aku bukan orang yang pantas denganmu untuk bersanding.

Kini aku mati rasa, mati, semati-matinya. Ingin melangkah namun, takut hilang arah. Ingin memulai kembali, tapi takut dikhianati. Sudah berkata jujur, di anggap modus. Aku sedang berkamuflase diantara rindangnya pohon, aku juga sedang mengumpat di nada-nada perpisahan yang kau eratkan. Baiklah, memang seperti ini yang harus kita lantukan. "Kau pantas bahagia, tak usah kau tengok aku yang kini sudah melebur bersama keputus asan yang menjamur". Jujur saja ! Banyak yang bilang tak usah dipikirkan, tak usah di gubriskan. Tapi, jika bulan sudah datang, ingatan itu bebas melayang di jembatan fikiran.

"Jadi, ini yang namanya galau ?"
Memikirkan dia yang pernah ada untuk kita, lalu entah pergi kemana.
Jadi, seperti ini yang namanya galau?
Tetap memikirkan dia walau sedang bersibuk ria.
Jadi, seperti ini yang namanya galau?
Ingin memperhatikan, namun dianggap tak punya pendirian.
Jadi, seperti ini yang namanya galau?
Sekali berbuat kesalahan beribu-ribu kebaikan dilupakan.
Jadi, seperti ini yang namanya galau?
Ingin meyakinkan, namun, di anggap pembual.

Aku sadar kita sudah bukan menjadi dua insan yang butuh jalan pulang. Sekarang, kita hanya butuh cara untuk saling merelakan. Tenang saja, namamu tak pernah luput ku ucapkan di sepertiga malamku. Berbahagialah seperti semestinya. Aku akan turut ikut bahagia melihat senyummu yang telah dibuat olehnya. Malah aku bersyukur sudah ada manusia yang telah membuatmu bahagia kembali.

Ingat ! Kita tak tahu di depan sana seperti apa, kita juga takan tahu nantinya akan seperti apa. Jangan menutup diri, biarkan waktu memainkan perannya. Mari berdoa untuk merayakan duka lara yang sempat merekah di dasar jiwa. Mungkin kita akan bersama dikemudian hari atau mungkin nantinya kita akan dibahagiakan oleh orang lain. Tuhan sudah mengaturnya, kita sebagai hambanya harus sungguh-sungguh berusaha dan berdoa, agar di berikan jalan yang terbaik.

Terakhir, titip salamku untuk orangtuamu, maaf, aku belum bisa menjadi manusia yang bisa membahagiakanmu dalam keadaan apapun. Aku saja masih payah merawat diriku sendiri. Semoga berbahagia selalu, tak usah khawatir jika ingin kembali mempercayaiku sebagai seorang kawan yang bisa mendengarkan keluhan. Toh ceritamu, akan menjadi dongeng bagi anak dan cucuku; Bahwa, pernah ada manusia yang rela berjuang mati-matian untuk membahagiakanku tanpa pamrih sedikitpun. Aku pamit !!

-Ku persembahkan sajak ini untukkmu-

"Terlalu sering kau mengatakan pergi, hingga akhirnya kau pergi
Terlalu sering kau berdiam diri, hingga akhirnya aku yang kau diami
Terlalu sering aku menerima perlakuan cuekmu. Hingga, akhirnya aku terbiasa tersenyum dengan sikapmu
Pada akhirnya, semua rasa sakit menjadi pengiring langkahku untuk mengikhlaskan dirimu"

Menjelang pagi, pasti ada wajahmu di ingatanku
Ada kenanganmu di resahku
Namun, aku tahu memang seperti itu ritmenya, tak mudah berdamai dengan rasa yang pernah membekas dalam sanubari
Lantas biar saja ingatanku kini masih mengingatmu, aku tetap mendoakanmu dalam kejauhan, biar waktu yang memainkan perannya ku harap dengan malaikatmu yang baru kau akan bahagia.
Jangan seperti denganku "kau tak pernah merasakan bahagiamu"

Dari-manusia yang kini kau gantungkan.

MATI RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang