ROSE
Balajo Pub, Rue de Lappe, Prancis.
Suara musik hingar bingar, bau asap rokok dan keringat orang-orang yang sedang menari mengikuti alunan irama musik bercampur menjadi satu, menyesakkan dada.
Aku menunggu papa di bartender. Papa bilang, akan memperkenalkan aku dengan rekan kerjanya untuk diberikan pekerjaan. Aku sayang sekali dengan papa, aku akan lakukan apapun untuk membantu papa. Terlebih, papa berjanji akan berhenti berjudi dan mabuk bila aku mau membantu rekan kerjanya.
10 menit, 15 menit, 25 menit, 35 menit.. Hmm papa akhirnya datang.
"Rosaline, Mon Cherie, ini Monsieur DuPont. Beliau akan menjelaskan padamu tentang pekerjaanmu. Dengarkan dan turuti perkataannya. Aku akan tinggalkan kalian disini" Kemudian, papa mendekatkan wajahnya dan membisikan, "Jangan buat masalah apapun. Turuti kata-katanya atau kau akan ku bunuh", lalu papa meninggalkanku dengan Monsieur DuPont.
Monsieur DuPont kemudian mengajakku pergi ke lantai atas Pub Balajo. Di sana terdapat beberapa ruangan bertuliskan Private Room untuk para pelanggan VIP. Aku dibawa ke salah ruangan dan monsieur DuPont mempersilakanku untuk duduk.
"Tunggu disini sebentar ya Rosaline, aku akan segera kembali", kemudian ia pergi meninggalkan ruangan.
Sambil menunggu, aku duduk di atas sofa panjang dan mencoba untuk rileks. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Ruangan ini tidak begitu luas namun begitu tenang. Sepertinya dinding-dinding di ruangan ini sengaja dibuat kedap suara karena suara musik di depan tidak terdengar sama sekali. Lampu-lampu di ruangan ini juga terkesan lebih redup atau mungkin karena efek dinding yang berwarna merah membuatnya terlihat seperti itu. Ada beberapa lilin di atas meja dan sebuh vas bunga yang dihiasi bunga mawar. Suasa yang begitu romantis, batinku. Tak lama kemudian, Monsieur DuPont kembali dengan membawa sebotol wine dan dua buah gelas.
"Maaf telah membuatmu menunggu, Rosaline" katanya meminta maaf kemudian ia duduk di sampingku.
Aku menatap Monsieur DuPont dan bertanya, "Monsieur, apa sebenarnya pekerjaanku?".
"Pekerjaanmu tidak sulit kok, kau hanya harus menemaniku minum, Rosaline. Aku sudah membayar 5000€ kepada ayahmu dan dia mengatakan bahwa aku bisa menyuruhmu melakukan apapun, ini minumlah." Monsieur DuPont menyodorkan segelas wine yang dibawanya kepadaku. Aku pun terpaksa menerimanya karena teringat perkataan Ayah sebelum meninggalkanku tadi.
Monsieur DuPont tersenyum manis. Tangan kirinya merangkul bahuku dan menarikku untuk lebih dekat padanya. Ia kemudian mengangkat tangan kanannya yang memegang gelas wine dan mengajakku bersulang. Mau tak mau aku menuruti permintaannya. Aku menyesap wine itu dengan ragu-ragu. Rasa manis memenuhi mulutku hingga kemudian rasa pahit menjalar di dalam tenggorokanku. Aku pun tersedak dan segera meletakkan gelas wine itu di atas meja.
"Sepertinya kau belum terbiasa minum, ya?" Ia mengusap-usap punggungku berusaha membuatku merasa lebih baik. Namun kemudian ku rasakan tangannya bergerak turun ke arah pinggangku hingga sekarang berada diatas pahaku. Ia pun mulai meraba-raba pahaku dan membuatku merasa tak nyaman. Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku kemudian membisikkan sesuatu ke telingaku.
"Kau cantik sekali Rosaline" bisiknya menggoda. Mendengar hal ini membuat bulu kudukku meremang. Aku merasakan bahaya dan mulai merasa panik.
Monsieur DuPont meletakkan gelas yang dipegangnya ke atas meja. Tangannya yang bebas mulai mengelus pipiku. Ia kemudian memegang daguku dan mendekatkan wajahnya ke arahku. Aku bisa mencium bau alkohol keluar dari mulutnya. Ia mencoba menciumku namun dengan sigap aku pun menghindar. Dia hanya terkekeh melihat sikapku yang terkesan malu-malu di matanya.
Aku memikirkan cara agar bisa lepas dari Monsieur DuPont. Lalu aku memutuskan untuk pergi ke kamar kecil.
"Monsieur, bolehkah aku pergi ke toilet sebentar? Aku ingin buang air kecil"
Monsieur DuPont mengangkat sebelah alisnya, dia terlihat ragu. Aku berdoa dalam hati agar dia tidak curiga, kemudian ku dengar dia berkata, "Baiklah, cepat kembali ya Rosaline. Kita belum selesai dengan minuman kita."
"Baik Monsieur" lalu aku pergi meninggalkan Monsieur DuPont.
Aku pun melesat ke luar ruangan dan segera mencari kamar kecil. Aku merapikan penampilanku kemudian menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Aku harus mencari cara untuk keluar dari sini. Setelah membulatkan tekad, aku bergegas keluar sembari menengok ke belakang, khawatir kalau ada orang suruhan papa atau Monsieur DuPont yang mengikutiku diam-diam hingga tanpa sengaja aku menabrak salah seorang waiter dan membuat makanan dan minuman yang dibawanya jatuh.
"Praannnkk!"
Mendengar suara gaduh itu membuat semua mata tertuju padaku. Aku merasa panik dan segera meminta maaf, kemudian bergegas menuju pintu keluar. Sampai seseorang yg sepertinya orang suruhan papa mengejarku.
"Madame! Attend!" (madame, tunggu!)
Aku terus berlari menuju pintu keluar, membuka pintu itu dengan kasar hingga akhirnya aku berhasil keluar. Namun sialnya, aku tidak melihat bahwa ada seseorang yang sedang berdiri di luar pintu. Aku pun menabrak orang itu dan aku sangat terkejut ketika menyadari orang itu adalah papa.
Papa terlihat sangat geram, kemudian dia mencekal tanganku dengan erat dan berusaha menyeretku kembali ke dalam. Aku memberontak dan berusaha melepaskan diri sambil berteriak memuntahkan kekecewaanku padanya.
"Papa! Keterlaluan! Teganya kau menjualkan! T'es une petite merde!" (you're a piece of shit) Lepaskan! Aku membencimu!"
Aku memberontak semakin kuat lalu aku tendang bagian selangkangan papa. Dia pun kesakitan dan melepaskan cekalannya dariku. Aku tidak membuang kesempatan dan berlari sekencang mungkin menyusuri gang-gang kecil Rue de Lappe dan bersembunyi di salah satu gang sempit. Papa dan orang-orang suruhannya masih terus mengejarku. Aku dapat mendengar teriakan-teriakan mereka memanggil-manggil namaku. Ketika salah seorang dari mereka berada di dekat tempat persembunyianku. Aku langsung menutup mulut, agar napasku yang terengah-engah tidak dapat mereka dengar. Dia tidak menyadari keberadaanku dan bergegas mencari ke arah lain.
Aku menunggu hampir sekitar 20 menit sampai teriakan-teriakan itu semakin lama semakin menghilang. Aku bergegas keluar dari tempat persembunyian itu dan berlari sejauh mungkin. Kakiku terasa sakit dan mati rasa. Tubuhku semakin lama semakin lemas. Aku berjalan dengan sisa-sia tenaga yang aku punya. Kepalaku terasa pening mungkin akibat wine yang aku minum. Aku menduga-duga Monsieur DuPont memasukkan sesuatu ke gelasku hingga membuatku menjadi seperti ini. Di tengah lamunanku tanpa sengaja aku menabrak seseorang. Aku berusaha menatap orang itu namun pandanganku mulai kabur dan seketika semua berubah menjadi gelap.
***
Aku membuka mataku perlahan kemudian mengedarkan pandanganku. Sepertinya, aku sedang berada di sebuah kamar. Interiornya tidak mewah, cenderung maskulin dengan cat dinding yang di dominasi warna abu-abu serta beberapa wallpaper yg sudah mulai terkelupas. Sekilas, tempat ini terlihat seperti gudang barang bekas. Aku mulai panik dan berpikir apakah papa berhasil menangkapku? Aku berusaha bangkit namun tubuhku terasa sakit. Dari luar aku dapat mendengar suara langkah kaki berjalan menghampiri. Klik, dia membuka kenop pintu. Aku pun bersembunyi di bawah selimut.
"Kau sudah sadar?" katanya.
Suara itu terdengar asing di telingaku. Aku yakin itu bukan suara papa ataupun Monsieur DuPont. Siapa? batinku. Aku pun penasaran dan mencoba mengintip dari balik selimut.
Aku melihat seorang pemuda berambut pirang dan diikat kuda. Kira-kira usianya hampir sama denganku. Dia berdiri dihadapanku. Pemuda ini sangat tampan. Hidungnya begitu bangkir khas orang Eropa. Rahangnya begitu kokoh dihiasi bibir tipis yang merah dan menggoda. Mata birunya menatap tajam ke arahku. Aku memperhatikan pemuda itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia terlihat tampan meski penampilannya sangat berantakan. Aku yakin Tuhan pasti sedang tersenyum ketika menciptakannya. Aku merasa pemuda ini tidak cocok berada di tempat yang seperti tempat pembuangan ini.
Aku menelan ludahku karena gugup lalu memberanikan diri untuk bertanya, "Kau siapa? Dan dimana aku?"
To be Continue....
KAMU SEDANG MEMBACA
Honey Flower
General FictionLuciel Orang bilang, cinta ada karena terbiasa. Tapi buatku, cinta tidak pernah ada. Tidak sampai aku terpaksa membopong seorang wanita dari kumuhnya gang-gang sempit di Rue de Lappe. Rosaline Sepanjang hidupku, aku berlari, terus berlari. Berlari d...