Aku membuka pintu kelas, setelah bel nyaring berbunyi tanda pelajaran hari ini telah selesai. Bel di Sekolah seperti pemberitahuan Stasiun Kereta Api, begitulah. Ada suara wanita dan pria bergantian berbicara menggunakan dua bahasa, Indonesia-English. Aku berharap kelas yang berantakan akan rapi dengan sendirinya, dengan tangan-tangan yang sembunyi.
Panggil saja aku Naila, siswa yang sebentar lagi akan memindahkan langkah dari kelas dan sekolah ini. Meninggalkan memori semasa aku diam, dan bertarung dengan kecemasan. Di Sekolah aku termasuk siswa yang tidak terbilang buruk, beberapa prestasi dan nilai akadamik yang baik. Beberapa kali, mewakili sekolah dan membawa beberapa sertifikat/piagam. Ada piala-pialaku dalam lemari kaca, di antara pintu masuk, setelah gerbang. Cita-cita saat pertama kali aku masuk ke Sekolah ini, setidaknya dapat sekali atau lebih mencatat namaku di sini dengan prestasi.
***
Aku mengibarkan lembar-lembar dari halaman, membaca kemudian menuliskan apa saja. Tentang kabar nama-nama yang kujumpai hari ini atau kabar yang kuterima dari beberapa orang yang bercerita tentang dirinya. Aku hanyalah si murid yang kutu buku, begitulah julukan yang kuterima dari teman-teman. Aku tidak pandai bersahabat dengan para teman-temanku, saat itu. Aku merasa tertinggal dalam masa-masa seperti mereka. Tapi sekali lagi, aku memiliki buku. Aku memiliki banyak guru yang paham dan menyayangi. Terkadang mengistimewakanku di antara lainnya. Dan ketika aku mengenal satu guru, yang membuatku jengkel mulanya hingga beliau selalu jadi satu motivasi, kemudian menjadi salah satu guru yang selalu aku nantikan kehadirannya. Sebut saja guru itu bernama Pak Fadlan. Guru bagian IPA dan Teknologi Informatika. Berusia sekitar 29th dengan tinggi tubuh sekiat 175cm, memang terbilang muda saat itu, jika dibandingkan dengan guru-guru yang sudah senior di atasnya. Namun memang kelebihan dari guru ini, ia selalu ramah menyapa. Meski sedikit sama sepertiku, hanya seperlunya berkata atau membuat dialog di antara kami, para muridnya. Namun, dia yang kukenal selama ini berbeda. Pak Fadlan selalu terbuka tentang apa yang ingin ia sampaikan padaku. Dia pun pandai membuat beberapa orang di dekatnya tersenyum menahan tawa karena lelucon atau candanya.
Hingga, suatu malam. Ketika aku terlibat dalam kegiatan Sekolah, dalam rangka pelatihan siswa baru. Kami sempat berada pada satu ruangan di malam itu. Kami berdua, dengan 15 Komputer, 1 Televisi, mejakursi kosong dan Ada beberapa alat-alat percobaan IPA dan beberapa alat-alat electronik. Di sana, kami semakin dekat. Antara Guru dan siswa.
Diam-diam ternyata ia menyimpan kekagumannya padaku. Si murid kutu buku, yang tidak tahu apa yang dituliskannya. Dan diam-diam aku pun sama mengagumi cara dia menghadirkan suasana hangat.
“Naila,” Panggilnya.
“Ya, ada apa Pak?”
“Kenapa ya kamu bisa sebisa itu?” tersungging senyum.
“Sebisa apa, Pak?” tanyaku dengan heran.
“Bapak orang tehnik yang kurang terlalu suka menyimak sebuah tulisan yang dari awal sudah enggak‘ngeh’ lagi. Semenjak membaca tulisan-tulisanmu bapak baru tahu, ternyata bapak suka dengan tulisan yang berbau nyasta. Tapi membaca tulisanmu, selalu membawa penasaran untuk melanjuti sampai-sampai tiba ditanda titik. Akhir dari tulisanmu itu, hehehe”
Dalam bathin aku berpikir, jarang sekali pak Fadlan memuji tulisanku. Setelah ternyata ia selalu menjadi penikmat setia tulisan prematureku. Aku cukup senang mendengarnya.
“Terimakasih Pak. Naila senang ternyata ada yang mau menyimak tulisan-tulisan Naila diblog itu. Maaf pak, Naila masih belajar dan berlatih. Belum sebagus itu.”
“Ya, begitulah kelebihanmu, Naila. Memiliki kelebihan namun tetap rendah hati. Nanti buatkan tulisan apa saja untuk bapak ya? bapak akan sangat senang.” Pintanya.
“Bagi Naila, bapak terlalu indah untuk dituliskan oleh tangan Naila yang masih merangkak ini, Pak..”
*oke guys sampai disini dulu*
*maaf kalau kurang panjang yah*
*jangan lupa beri suara*
*see you in the next story*