01 One Night

865 63 10
                                    

Seoul, September 2018

Kim Namjoon mengulum lolipopnya. Rasa stroberi, mengingatkannya pada Taehyung. Sedang apa anak itu sekarang, pikir Namjoon. Pikiran laki-laki itu memang bisa bercabang entah ke mana. Dimulai dari lollipop stroberi, Taehyung, kabar ibunya, dan yang terakhir adalah nyawa ayahnya.

Jadwal jaga malam hari itu tidak semenyenangkan hari-hari biasanya. Tidak ada sekotak susu dan makanan ringan yang biasanya dibawakan Rein. Gadis itu sedang pulang ke Daegu, ada kerabatnya yang baru saja meninggal dunia, katanya ketika pamit lewat telepon kemarin malam. Awalnya, Namjoon berniat menemani Rein pulang, tetapi bosnya bilang dia tidak punya jatah cuti lagi tahun itu. Padahal seingat Namjoon, ia belum menggunakan habis jatah cutinya. Bisa saja sih kalau Namjoon bersikeras. Paling-paling besok dia sudah didepak dari tempat kerjanya. Yah, sebenarnya tidak masalah. Pom bensin tempatnya bekerja juga tidak bagus-bagus amat, tapi ia tidak ingin saja menambah daftar hitam dalam resumenya.

 Pom bensin tempatnya bekerja juga tidak bagus-bagus amat, tapi ia tidak ingin saja menambah daftar hitam dalam resumenya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Namjoon merebahkan diri di kursi panjang yang ada di pinggir pom. Jam di tangannya sudah menunjukkan pukul dua belas. Udara malam itu lebih dingin dari biasanya. Mungkin karena Namjoon hanya mengenakan sweater tipisnya yang mulai usang. Dua jam lalu seharusnya Rein sudah tiba di Daegu, tetapi sampai sekarang gadis itu tidak berkabar. Alih-alih membiarkan pikirannya terbang ke mana-mana, Namjoon memejamkan mata sejenak. Ia dan rekan-rekannya yang lain meletakkan kursi panjang tempat mereka beristirahat di titik buta. Sengaja, kalau-kalau mereka butuh tidur ketika waktu jaga malam benar-benar terasa berat.

Belum sampai sepuluh menit Namjoon memejamkan mata, telinganya sudah menangkap suara seretan kaki. Semakin lama suara itu semakin kuat, cukup kuat untuk membuat bulu kuduk Namjoon meremang. Sepuluh menit lagi menuju tengah malam, dan Namjoon benar-benar sendirian malam itu. Bagaimana suara kaki itu tidak membuatnya takut, kan?

"H-hyung..."

Salah jika Namjoon mengira hanya seretan kaki yang akan mengganggunya. Sekarang, suara laki-laki perlahan terdengar. Sangat pelan hingga Namjoon masih berpikir bahwa itu adalah imajinasinya semata. Tapi Namjoon jelas-jelas membantahnya ketika suara itu perlahan menguat.

"Aku ingin tidur, tolong jangan ganggu aku," sahut Namjoon pelan.

"H-hyung..." Tidak puas memanggil, suara itu menambah isakan di sela-sela panggilannya. Panggilan yang nyaris terdengar seperti bisikan itu semakin dekat. Sama dekatnya dengan suara seretan kaki yang sebelumnya Namjoon dengar.

"Dengar, aku tidak ingin membuka mataku. Kau harus menjauh karena aku tidak ingin kita berinteraksi. Aku tidak akan mengganggumu, jadi tolong jangan ganggu aku!"

Namjoon beringsut ke samping. Matanya masih belum terbuka. Ia mengeratkan jaketnya ketika semilir angin menyusup sweater-nya. Ada beban yang terasa di ujung kursi panjang yang Namjoon duduki. Kursi yang tadinya membawa beban sebelah saja, kini Namjoon rasakan menjadi seimbang. Seseorang—atau sesuatu—yang menghampiri Namjoon itu baru saja duduk bersamanya.

"Tolong jangan ganggu aku," ulang Namjoon.

"Hyung!"

Logikanya, makhluk halus tidak akan memanggil dengan nada protes seperti itu. Maka Namjoon memberanikan diri membuka matanya perlahan-lahan. Bukan makhluk halus ternyata. Seorang anak laki-laki yang lebih muda setahun dengannya, tetapi tampak seperti anak kecil polos yang tidak tahu dunia. Duduk di ujung kursi panjang yang juga diduduki Namjoon dengan mata berkaca. Sudut bibirnya sobek, ditandai dengan darah kering yang belum ia bersihkan. Beberapa sayatan yang masih basah juga ada di pipinya. Hati Namjoon seperti diremas seketika.

"Aku tidak pernah bilang kau boleh menemuiku dalam kondisi seperti ini, Taehyung-a." Namjoon baru dapat mengeluarkan suara setelah beberapa saat menatap anak laki-laki itu lekat.

"Aku mencarimu di mana-mana! Aku mencarimu di rumah Yoongi hyung, mencarimu di studio tempat kau biasa menonton konser, aku juga mencarimu di kafe terakhir yang menjadi tempat kerja paruh waktumu! Kau pikir aku mau menemuimu dengan kondisi seperti ini?!"

"Kim Taehyung..." Namjoon beringsut mendekati laki-laki bernama Taehyung yang tangisnya baru saja pecah setelah ia memaki Namjoon. Tangannya terulur, hendak mengacak rambut Taehyung sebelum akhirnya Taehyung menepisnya.

"Sakit tahu!"

"Aku belum melakukan apa-apa," protes Namjoon.

"Iya, karena hyung tidak melakukan apa-apa, makanya semua terasa sakit! Mengapa kau tega membiarkan aku tinggal sendirian di rumah?"

"Tapi eomma..."

"Iya! Hanya berdua, dan kau tahu bagaimana rasanya menahan diri untuk tidak mengotori tanganku. Kau bilang aku...aku harus jadi anak baik. Kau bilang aku harus jadi anak baik kalau tidak kau tidak akan kembali! Tapi kau tidak pernah kembali meskipun aku sudah menjadi anak baik!"

Ingatan Namjoon berputar seperti film yang diputar mundur. Hari itu, musim dingin tahun lalu. Namjoon ingat salju turun deras-derasnya pada hari di mana ia melangkahkan kaki keluar dari rumah.

*

Seoul, Desember 2016

"Hyung janji akan kembali? Sekolahmu tidak lama, kan? Kenapa tidak tinggal di sini saja, sih? Kau bisa naik bus." Taehyung hanya bisa protes. Ya, seperti anak kecil pada umumnya. Dia tidak akan rela kehilangan teman bermain. Maka ketika Namjoon memastikan barang-barangnya sudah semua masuk ke dalam koper, Taehyung berkali-kali menyandarkan tubuh di koper atau di punggungnya. Berkali-kali Taehyung mengatakan pada Namjoon bahwa Namjoon meninggalkan sesuatu, dirinya.

"Aku akan mengunjungimu jika kau menjadi anak baik. Ingat apa yang kukatakan? Jaga eomma dan lindungi ia jika ada yang menjahatinya. Kau mengerti?"

"Aku bukan anak kecil lagi, perlu kau ingat," sahut Taehyung.

"Benarkah? Di mataku kau selalu seperti anak kecil," gumam Namjoon sambil mengacak rambut Taehyung.

"Hyuuuung!" Benar saja, bukan? Taehyung sontak merengek ketika Namjoon bilang ia seperti anak kecil. Taehyung mengerucutkan bibirnya, masih tidak terima disebut anak kecil.

Ketika Namjoon menarik kopernya ke luar, Taehyung mengikutinya, mendorong koper Namjoon seolah ingin meringankan bebannya. Sementara itu, ibunya berdiri di ambang pintu, menahan tangis yang sebenarnya sudah hampir mengalir dari sudut matanya. Taehyung melambai pada ibunya sebelum mengikuti Namjoon menuju halte bus.

"Taehyung, dengarkan aku. Apa pun yang terjadi, kau harus menjadi anak laki-laki yang kuat. Aku akan kembali ketika aku sudah menjadi lebih berani, aku akan menjemputmu dan eomma ketika waktunya tiba. Kalian harus menungguku, dan tugasmu adalah menjaga eomma sampai hari itu tiba."

Taehyung mengangguk, entah mengerti atau agar Namjoon cepat menyelesaikan kalimatnya saja. Entahlah. Ketika Namjoon naik ke bus, dia melihat Taehyung melambai sambil memamerkan senyum kotaknya. Tidak ada air mata di wajahnya. Yang ada hanya harapan. Harapan agar Namjoon segera kembali, menjemput Taehyung dan ibu mereka. Senyum kotak yang tak pernah Namjoon sangka akan segera memudar.

*

Seoul, September 2018

"Kau bilang akan menjemputku dan eomma. Kami menunggumu!" Taehyung masih berusaha bicara meskipun suaranya tertutup tangis yang semakin kuat.

"Aku... Taehyung, percayalah aku akan pulang. Aku akan menjemputmu dan eomma, tapi kau tahu kan aku harus..."

"Hyung..." Taehyung tidak membiarkan Namjoon menyelesaikan kalimatnya. Ia mengusap air mata sebelum menatap Namjoon lekat.

"Jika kau tidak melakukannya sekarang, mungkin kau akan terlambat..."
.
.
.
.
.
.
.
afeksi hangat vmon adalah sumber segala cerita ini. terima kasih sudah mau mampir.

MOONGLADETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang